Runtuhnya Selasar BEI Vs Profesi Insinyur
Dari kejadian runtuhnya lantai BEI Jakarta, banyak opini dan pendapat bermunculan, baik dari praktisi akademisi maupun para praktisi engineer.
Oleh Ir Mahyuddin ST MT
Wisudawan Terbaik Program Profesi Insinyur FTI UMI Angkatan II/Konsultan Engineer
MENARIK ditelaah dan ditelisik insiden runtuhnya selasar atau mezzaine lantai 1 Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta yang terjadi, Senin (15/1/2018) lalu.
Peristiwa ini mengakibatkan lebih 70 orang menjadi korban.
Keputusan siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan konstruksi bangunan tersebut masih perlu ditelaah dari para ahli konstruksi yang berkompeten.
Dari kejadian runtuhnya lantai BEI Jakarta, banyak opini dan pendapat bermunculan, baik dari praktisi akademisi maupun para praktisi engineer.
Di antaranya pendapat Ahli Struktur dari Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung Prof Iswandi Imran yang mengatakan, salah desain, kegagalan bangunan, atau faktor fatigue (kelelahan) dari bangunan tersebut.
Menurut informasi bangunan BEI sudah berumur 20 tahun.
Analisa Kejadian
Ada dua faktor yang bisa dianalisis dari keruntuhan tersebut. Faktor pertama, konstruksi kantilevernya dan konstruksi suspended (penggantungnya).
Dari foto-foto dan video yang beredar terlihat balok kantilevernya menggunakan struktur pemaku dengan sistim dianabol atau ditanam dengan menggunakan baut.
Balok baja kantilever disambungkan langsung dengan kolom bangunan lama, struktur sambungan ini tidak optimal dan tidak menyatu dari struktur lama dengan struktur yang baru, sehingga ada celah terjadi regangan pada sambungan balok kantilever dengan tiang bangunan lama ketika menerima beban.
Lain halnya apabila menggunakan konstruksi komposit dengan perkuatan tiang baja baru pada tiap-tiap balok kantilevernya, kemungkinan pada saat terjadi kegagalan konstruksi, minimal ada tanda-tanda sebelum runtuh.
Faktor kedua, sistem konstruksi suspended-nya (gantung) untuk membantu menopang balok kantilevernya, juga lemah dari segi kekauatan struktur.
Seharusnya suspended-nya membantu mengurangi beban dari balok kantilevernya.
Namun konstruksinya menggantung pada lantai atasnya, yang menandakan suspended hanya menjadi beban bagi balok kantilevernya.
Seharusnya suspendednya mempunyai tiang penyangga dari ujung kedua sisi untuk mentranfer gaya-gaya dari beban yang diterima sehingga tidak membebani balok kantilevernya.
Akhirnya pada saat terjadi kegagalan bangunan akibat kelebihan beban, suspendednya mengalami kegagalan dengan sifatnya putus bersamaan, dan balok kantilevernya terjadi keruntuhan akibat sambungan baloknya tidak monolit dengan kolom yang ada sebagai penyanggah.
UU Keinsinyuran
Dari kejadian keruntuhan Gedung BEI, mengindikasikan para insinyurnya sejatinya menerapkan kaidah-kaidah profesionalisme dan etika keinsinyuran.
Tidak hanya mengejar keindahan bangunan tapi dari segi keamanan dan keselamatan pengguna diabaikan.
Menurut UU No 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran pada Pasal 50, jika terjadi kegagalan bangunan dan menyebabkan korban jiwa serta ditemukan unsur malpraktik keinsinyuran, maka pelaksananya dikenakan unsur pidana.
Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap orang bukan insinyur yang menjalankan praktik keinsinyuran dan bertindak sebagai insinyur sebagaimana diatur dalam UU ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Bagi etiap orang bukan insinyur yang menjalankan praktik keinsinyuran dan bertindak sebagai insinyur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan kecelakaan, cacat, hilangnya nyawa seseorang, kegagalan pekerjaan keinsinyuran, dan/atau hilangnya harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.
Orang dengan profesi insinyur dan mengerjakan produk keinsinyuran namun mengakibatkan malpraktik dan korban jiwa akan mendapatkan sanksi.
Harapan
Berbagai faktor penyebab kegagalan konstruksi dapat diasumsi termasuk dari analisa berbagai sumber video dan foto, para perencana pun terkadang lebih mengutamakan faktor estetika atau keindahan bangunan dibandingkan faktor keamanan dari struktur kekuatan bangunan.
Hal tersebut masih wajar namun kaidah keteknikan tidak diabaikan dan perlu desain struktur yang matang untuk menghasilkan konstruksi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Olehnya itu untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan sesuai dengan koridor, para praktisi keteknikan yang akan melakukan praktik keinsinyuran sudah seharusnya memiliki kompentensi.
Dibuktikan dengan ijazah profesi insinyur dari perguruan tinggi dan sertifikat insinyur professional dari Persatuan Insinyur Indonesia.
Hal tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang dikeluarkan oleh Dewan Insinyur Indonesia sebagai syarat berpraktek keinsinyuran.
Masyarakat membutuhkan produk karya keinsinyuran yang sesuai dengan standar yang ditetapkan dan tentunya mengutamakan unsur keselamatan dan kesehatan.(*)