opini
Pilkada dan Kepalsuan Berdemokrasi
Di Sulsel, pilkada tampak sebagai agenda elite politik. Kita kering argumentasi menyebutnya sebagai agenda publik.
Baliho yang seharusnya jadi penerang kenyataan bagi orang ramai, justeru menjadi alat yang menggelapkan mata masyarakat. Fatalnya, kebohongan seperti itu disebar sampai jauh.
Yang mencengangkan lagi, diantara baliho-baliho itu hampir tak ada bunyi tegas terkait penegakan hukum korupsi dan pemerintahan bersih.
Padahal, ini tak kalah pentingnya, setidaknya agar masyarakat bisa memilih calon pemimpinnya yang berkomitmen pada penyelamatan dana negara untuk kesejahteraan masyarakat.
Apalagi, daya rusak korupsi, tak sama daya efek influenza. Ia persis bobot daya rusak penyakit kronis.
Artinya, kalau korupsi terjadi dilevel pengelolah pemerintahan akan merusak kelompok-kelompok masyarakat dilapis bawah. Bansos yang dikorupsi misalnya berdampak pada tertutupnya peluang masyarakat untuk berdaya, sebab dana untuk keperluan itu telah dikorup.
Begitupun dengan suap, kita tak temukan komitmen pada baliho-baliho itu memerangi suap-menyuap dilevel pemerintahan kelak.
Padahal, suap-menyuap cukup lengket dengan birokrasi pemerintahan. Daya rusaknya setara daya rusak korupsi. Dalam hal layanan publik misalnya, praktik bayar tak terlihat ini menutup peluang masyarakat lainnya mengakses layanan pemerintahan secara maksimal.
Kalau peluang seperti ini tertutup, masyarakat menderita cacat berkewarganegaraan.
Dengan itu semua kita faham bahwa politik memang tampak diselenggarakan di ruang publik, tetapi seringkali ditransaksikan secara personal.
Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis dan kompetensi, tetapi dihitung dengan mesin kalkulator. Di sini, kepentingan berjumpa kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.
Namun semua itu tak kuasa kita menyaksikannya, sebab mata kita sejak lama telah tertutup oleh baliho-baliho. Kesadaran politik kita sebagai warganegara dibentuk dari baliho-baliho itu.
Bahkan, baliho kini dianggap sebagai pemberi pendidikan politik. Padahal, ini adalah salah satu tugas pokok parpol.
Dengan demikian, pilkada terasa bukan sebagai proses rekruitmen kepemimpinan, tetapi ia menyerupai perlombaan perebutan kekuasaan antar kaum tertentu.
Karena itu, kepalsuan disajikan didepan mata publik. Cara-cara gelap diperagakan diruang terang benderang ini. Kebohongan dikumandangkan seiring udara yang berputar.
Semua itu lalu sering disebut sebagai manuver politik. Terma “manuver” seolah sebagai sesuatu yang steril dari praktik lancung.