Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Taslim dan Prof Qasim cs, Kritik “Situasi Belum Genting” Negara versi Yusril

Mantan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta yang juga anggoga Group WhatsApp SENTER-SENTER BELLA (SSB) ikut komentar.

Penulis: AS Kambie | Editor: AS Kambie
zoom-inlihat foto Taslim dan Prof Qasim cs, Kritik “Situasi Belum Genting” Negara versi Yusril
dok.tribun
GROUP WHATSAPP SENTER-SENTER BELLA.SSB

Taslim kemudian menanggapi balik uraian “genting” Prof Qasim. Menurutnya, sangat menarik uraian "kegentingan yang memaksa" itu. Uraian ini dia nilai menjadi dan akan berakibat luas terhadap tatanan kebangsaan, manakala ditangani yang tidak dilandasi oleh pemecahan akar persoalan yang dihadapi, dan dengan cara standar dimana aparat negara berdiri di atas semua kepentingan dan golongan secara adil dan proporsional.

Taslim mencoba menilai dari sisi untuk dibandingkan dengan ‘cara lama’dalam mengelola pemerintahan dan kebangsaan serta proses rekrutmen elite alat negara.

Taslim menyajikan fakta, keterbatasan kelembagaan negara konvenstional yang tidak mengalami perubahan berarti dalam tatanan masyarakat yang makin kompleks, berhadapan dengan perkembangan tingkat kecerdasan masyarakat, kualitas kebebasan warga dalam mengekspresikan pendapatnya sejalan dengan teknologi yang dapat digunakan serta alat penyaluran pendapat yang makin meluas.

Juga adanya perubahan ikatan-ikatan kekuatan politik serta motivasi yang melandasinya bagi sebagian lapisan atas masyarakat yang menguasai informasi, pada saat nilai-nilai lama masih menguasai perilaku mayoritas (sebahagian besar anggota masyarakat) yang secara internal melahirkan friksi tersendiri dengan kelembagaan baru penghimpun kekuatan yang memperatasnamakan masyarakat.

“Akibat benturan itulah yang melahirkan ketidakpastian. Bahwa ketidakpastian itu melahirkan kegentingan yang memaksa, sangat bergantung pada cara bangsa ini mengatasi ketidakpastian yang mereka hadapi,” ujar Taslim.

“Bung Taslim, uraian bung dan Bung Andi Mattalatta, membuka mata saya untuk menatap lebih jelas peta kondisi masyarakat kita: keawaman umum tidak berbanding lurus dengan perkembangan lainnya yang melaju oleh kecanggihan teknologi media. Akan ada yang tergulung....!,” timpal Prof Qasim.

Tergulung? “Masalahnya adalah siapa yang tergulung. Bila yang tergulung adalah masyarakat banyak, lantas negara berada d imana, para pemimpin otentik ke mana, para pemangku keahlian jalan keluarnya ke mana, dan masyarakat banyak maunya ke mana yang masuk akal?” jelas Taslim.

Ekonom Sulsel, Abd Madjid Sallatu nyahut, “Sayangnya, kata 'kegentingan yang memaksa’ sering digantikan dengan kata 'kepentingan yang mengemuka’. Dan kepentingan itulah yang mengalahkan semuanya. Apalagi dalam kondisi hukum dan UU yang memiliki terlalu banyak celah. Celah itulah yang dimanfaatkan oleh kepentingan.”

Prof Qasim tertarik dengan istilah baru yang diungkap Madjid Sallatu. “Yang dikemukakan Bung Madjid Sallatu, hendaknya disimak betul, ‘kegentingan yang memaksa’ atau ‘kepentingan yang mengemuka’. Bisa saya setel bung Madjid, "kegentingan yang dipaksakan untuk kepentingan?” tulis Prof Qasim.

Lalu, Andi Mattalatta memberi penjelasan panjang tentang filosofi UU dan perpu.
Menurutnya, ada standard obyektif untuk menentukan apakah suatu materi itu harus diatur dengan UU atau cukup bentuk hukum dibawahnya seperti PP dan seterusnya ke bawah.

Politisi senior Golkar itu mengingatkan, yang harus dalam bentuk UU adalah materi yang membatasi hak rakyat atau membebani kewajiban baru rakyat atau yang mengatur hubungan-hubungan politik, bukan hubungan administratif, antar lembaga negara, atau merobah sesuatu norma yang sudah diatur sebelumnya dalam UU.

“Bila masih cukup waktu membahasnya secara normal antara pemerintah dan DPR, maka dibahas dulu baru berlaku. Tapi bila waktu mendesak untuk segera diperlakukan, maka ditetapkan dulu berlaku secara sepihak oleh Presiden baru minta persetujuan rakyat/DPR,” jelas Andi Mattalatta.

Menurutnya, kedua mekanisme itu kelihatannya cuma masalah prosedural. Tapi sesungguhnya ada pertimbangan strategis di balik mekanisme yang dipilih Presiden.

“Bila diajukan dalam bentuk RUU, disepakati dulu baru berlaku, mungkin ada kekuatiran beberapa pasal akan dirombak oleh DPR. Sementara bila dalam bentuk Perpu DPR hanya bisa setuju atau menolak. Tidak ada kesempatan untuk merobah substansi,” jelas Andi Mattalatta.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved