opini
Ceramah Tarawih yang Membosankan
Kata Kahlil Gibran ”Cinta yang tak diperbarui setiap hari, ia akan menjelma menjadi perbudakan”.
Seorang dai dianggap seorang dokter. Mereka datang untuk mengobati jamaahnya. Salah memilih obat penyakit alih-alih sembuh, malah bisa jadi makin parah (Sewang, 2017).
Saya punya pengalaman tahun ke tahun, masjid ke masjid di Kota Makassar khususnya, yang saya tempati salat tarawih menyunguhkan konten kerap kali berulang. Namun, ada beberapa pula yang menyungguhkan konten ceramah yang berbeda, ilmu parenting misalnya sampai kepada masalah tata cara jima’ yang baik.
Meski demikian, hal itu tidak sepenuhnya mereprestasikannya apalagi mengeneralisasinya, namun tidak menutup kemungkinan pembaca juga mengalami hal serupa. Kesan awal, mesti dibangun oleh dai dalam menyampaikan ceramah tarawih.
Adalah golden time, dua menit awal jadi penentu. jika menarik jamaah akan mempertahankan fokusnya. Lalu gesture yang mendukung, sebagaimana Muhammad Noer menekankan “Gesture yang mengiringi kata-kata dan penekanan nada suara dapat menambah kekuatan message yang ingin disampaikan”.
Insya Allah kalau seperti ini, apapun yang disampaikan tak hanya angin lalu.
Manajemen Mesjid
Semua hal di atas akan berjalan, jika manajemen masjid secara serius dan bersungguh- sungguh menghendaki perubahan dan juga peka dengan kondisi jamaah, yang memang ngantuk mendengarkan ceramah tarawih.
Saya pernah berbincang dengan teman takmir di salah satu masjid di Yogjakarta. Mereka memang mengatur semacam kurikulum atau tema besar di setiap Ramadan, berdasar realita jamaah sekitar masjid ataupun menyangkut isu-isu yang sedang hangat. Mereka lalu mencari dai yang sesuai dengan kurikulumnya.
Jika tidak bisa memenuhinya, maka cari yang lain. Bukan malah ‘pasrah’ kontennya dari dai. Jika apa yang disampaikan itu mengena di hati dan tak melulu dogmatik, maka Insya Allah jamaah akan tergerak untuk berbuat, seperti apa yang disampaikan oleh dai.
Bukankah ini yang semua kita kehendaki? Apalagi kini generasi muda tak lagi bisa sekadar dijelaskan secara dogmatik, tapi harus rasional.
Ada kemungkinan juga kita ‘salah’ yang tak fokus membuka hati dengan nasihat baik ataupun memang malah tak mengerti dengan apa yang disampaikan.Tubuh berada di bumi, tapi pikiran jauh melangit. Maka mari bersama berbenah. Wallahu alam bissawab. (*)
Catatan: Tulisan ini telah dimuat di kolom Opini halaman 29 Tribun Timur edisi cetak Senin, 19 Juni 2017