opini
Ceramah Tarawih yang Membosankan
Kata Kahlil Gibran ”Cinta yang tak diperbarui setiap hari, ia akan menjelma menjadi perbudakan”.
Oleh: Muh Taufiq Al Hidayah
Alumni UIN Alauddin Makassar - Saat ini mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta
Saya resah, konten-konten ceramah tarwih itu-itu saja. Bak memutar ulang pita kaset pada tahun sebelumnya dan terjebak pada sindrom ‘kutiba’, ayat dan hadis pun demikian.
Tentu tak salah dengan itu, namun jika makna yang disampaikan oleh dai selalu sama setiap Ramadan, jamaah pun sudah sama-sama tahu apa yang disampaikan, maka kita akan terjebak pada rutinitas belaka. Sesuatu yang berulang-ulang akan menimbulkan rasa kebosanan.
Meminjam kata Kahlil Gibran ”Cinta yang tak diperbarui setiap hari, ia akan menjelma menjadi perbudakan”. Ini berarti spirit cinta bisa lenyap ketika hanya disuguhi menu yang sama, gerak langkah seragam, dan aktivitas yang itu-itu saja, bagai rutinitas belaka.
BACA juga: Memorabilia Yushar Huduri Si Pembaca Buku yang Ulet
Maka tak ada ruang untuk memperbarui ‘spirit cinta’. Begitupun yang bermuatan ‘dogmatik’, mungkin dahulu memahamkan agama lewat itu, mudah-mudah saja.
Namun kini generasi muda atau milenia tak mudah, apalagi yang lahir di era digitial atau keterbukaan informasi luas, maka memahamkan secara rasional menjadi sangat penting.
Tentu, bukan berarti kita menolak hal yang dogmatik atau irasional. Namun untuk mendidik generasi kita, diperlukan sebuah pengantaran yang bersifat rasional dahulu sebelum ke irasional. Jika tidak berhasil, maka apa yang dikhawatirkan oleh Haidir Bagir bisa terjadi ‘agama akan ditinggalkan’. Ini harus menjadi perhatian kita bersama.
Konten ceramah tarawih ada baiknya bisa keluar dari rutinitas belaka, mengulang- ulang.
Saya pernah berbincang dengan teman sekampus yang dulunya menjadi takmir masjid di UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta. Ia pernah mengusulkan khutbah Jumat memakai LCD proyektor, namun karena banyak ditentang oleh takmir lain sehingga urung dilaksanakan.
Mungkin hal demikian suatu saat bisa diterapkan pada ceramah tarawih, bila ‘memungkinkan’. Sebab mungkin pendengar akan sangat tertarik dengan hal-hal berbau visual, apalagi hal yang baru. Jika demikian, maka ada peluang konten ceramah tarawih tidak lagi mengundang kantuk.
Itu sebabnya tempo hari saya mendukung adanya sertifikasi dai. Sebab konten ceramah yang disampaikan itu tak boleh asal disampaikan, tak pula hanya berbekal “sampaikanlah walau satu ayat”.
Pula tidak membutuhkan ilmu yang banyak atau asalkan hafal ayat atau hadis, boleh menyampaikan semau pemahamannya. Padahal kita tak boleh serampangan dalam menafsirkan sebuah ayat ataupun hadis.
Apabila seorang dai hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki.
Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)” (Pratama, 2011).
Seorang dai dianggap seorang dokter. Mereka datang untuk mengobati jamaahnya. Salah memilih obat penyakit alih-alih sembuh, malah bisa jadi makin parah (Sewang, 2017).
Saya punya pengalaman tahun ke tahun, masjid ke masjid di Kota Makassar khususnya, yang saya tempati salat tarawih menyunguhkan konten kerap kali berulang. Namun, ada beberapa pula yang menyungguhkan konten ceramah yang berbeda, ilmu parenting misalnya sampai kepada masalah tata cara jima’ yang baik.
Meski demikian, hal itu tidak sepenuhnya mereprestasikannya apalagi mengeneralisasinya, namun tidak menutup kemungkinan pembaca juga mengalami hal serupa. Kesan awal, mesti dibangun oleh dai dalam menyampaikan ceramah tarawih.
Adalah golden time, dua menit awal jadi penentu. jika menarik jamaah akan mempertahankan fokusnya. Lalu gesture yang mendukung, sebagaimana Muhammad Noer menekankan “Gesture yang mengiringi kata-kata dan penekanan nada suara dapat menambah kekuatan message yang ingin disampaikan”.
Insya Allah kalau seperti ini, apapun yang disampaikan tak hanya angin lalu.
Manajemen Mesjid
Semua hal di atas akan berjalan, jika manajemen masjid secara serius dan bersungguh- sungguh menghendaki perubahan dan juga peka dengan kondisi jamaah, yang memang ngantuk mendengarkan ceramah tarawih.
Saya pernah berbincang dengan teman takmir di salah satu masjid di Yogjakarta. Mereka memang mengatur semacam kurikulum atau tema besar di setiap Ramadan, berdasar realita jamaah sekitar masjid ataupun menyangkut isu-isu yang sedang hangat. Mereka lalu mencari dai yang sesuai dengan kurikulumnya.
Jika tidak bisa memenuhinya, maka cari yang lain. Bukan malah ‘pasrah’ kontennya dari dai. Jika apa yang disampaikan itu mengena di hati dan tak melulu dogmatik, maka Insya Allah jamaah akan tergerak untuk berbuat, seperti apa yang disampaikan oleh dai.
Bukankah ini yang semua kita kehendaki? Apalagi kini generasi muda tak lagi bisa sekadar dijelaskan secara dogmatik, tapi harus rasional.
Ada kemungkinan juga kita ‘salah’ yang tak fokus membuka hati dengan nasihat baik ataupun memang malah tak mengerti dengan apa yang disampaikan.Tubuh berada di bumi, tapi pikiran jauh melangit. Maka mari bersama berbenah. Wallahu alam bissawab. (*)
Catatan: Tulisan ini telah dimuat di kolom Opini halaman 29 Tribun Timur edisi cetak Senin, 19 Juni 2017