opini
Melawan Narkoba Berbasis Bukti
Hanya bertumpu pada pendekatan hukum ternyata tidak memberikan efek jera, tidak mengurangi peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
Oleh: Sudirman Nasir
(Pengajar/peneliti di FKM Unhas)
Media massa dan media sosial di Makassar akhir Maret 2017 lalu cukup ramai memberitakan tertembaknya terduga bandar besar narkoba di kota ini. Hal ini tentu patut dihargai.
Ketegasan pendekatan hukum terhadap pengedar apalagi terhadap bandar narkoba memang dibutuhkan.
Namun seharusnya kita juga menyeimbangkan pendekatan penegakan hukum dengan pendekatan kesehatan masyarakat, khususnya berdasarkan bukti-bukti ilmiah (scientific evidence) yang telah terverifikasi.
Menyeimbangkan pendekatan di hulu atau sisi permintaan (kesehatan masyarakat) dengan sisi hilir (penegakan hukum) sangat diperlukan.
Terdapat semakin banyak bukti ilmiah yang dihasilkan lewat penelitian-penelitian dan publikasi-publikasi akademik mengenai penyalahgunaan narkoba dan bahwa penyalahgunaan ini tidak tersebar merata.
OPINI: Pedofilia, Pendidikan, Seksualitas dan Kecerdasan Digital
Penelitian menunjukkan bahwa negara-negara maju dengan tingkat kesenjangan sosial-ekonomi yang lebih tinggi ternyata juga memiliki tingkat penyalahgunaan narkoba yang lebih besar.
Selain memiliki tingkat penyalahgunaan narkoba yang lebih tinggi, negara-negara dengan kesenjangan sosial ekonomi yang lebar itu juga memiliki indikator-indikator sosial dan kesehatan masyarakat yang lebih buruk.
Seperti tingkat kesakitan dan kematian akibat penyakit-penyakit kejiwaan maupun tingkat kriminalitas yang lebih tinggi (Wilkinson dan Picket dalam “The Spirit Level—Why More Equal Societies Almost Always Do Better”, 2009).
Amerika Serikat dan Inggris Raya misalnya meskipun memiliki pendekatan hukum yang lebih keras terhadap narkoba namun ternyata memiliki angka penyalahgunaan narkoba yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju lainnya.
Ini dialami antara lain Jerman, Belanda, Swiss, Portugal dan di negara-negara di Kawasan Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia maupun Australia dan Selandia Baru (negara-negara yang memiliki kesenjangan sosial ekonomi yang lebih rendah dan pendekatan/kebijakan narkoba yang lebih berbasis bukti).
Johann Hari yang telah lama meneliti mengenai perdagangan dan penyalahgunaan narkoba menulis buku penting berjudul “Chasing The Scream: The First and Last Days of the War on Drugs”.
Ia merangkum semakin banyaknya bukti bahwa ketergantungan terhadap narkoba sangat terkait dengan masalah-masalah struktural di atas.
Publikasi-publikasi ilmiah mengenai narkoba (yang muncul lewat jurnal-jurnal dan buku-buku yang berasal dari penelitian panjang dan proses review yang ketat) menunjukkan semakin perlunya menyeimbangkan antara pendekatan hukum, pendekatan kesehatan masyarakat dan juga pendekatan struktural.
Dengan memasukkan kata-kata kunci yang tepat di mesin pencari seperti Google kita akan mendapatkan banyaknya bukti bahwa hanya bertumpu pada pendekatan hukum (legal and punitive approach) atau yang dalam bahasa populer disebut sebagai pendekatan “war on drugs” ternyata tidak memberikan efek jera, tidak mengurangi peredaran dan penyalahgunaan narkoba serta tidak menurunkan kesakitan, kecacatan dan kematian akibat narkoba.
Semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih seimbang dan lebih bertumpu pada kombinasi pendekatan medis, psikologis, sosiologis dan kesehatan masyarakat dalam bentuk meningkatkan faktor-faktor pelindung (protective factors) yang lebih terbukti mencegah anak-anak muda memulai memakai narkoba, mencegah ketergantungan/kecanduan terhadap narkoba.
Amerika Serikat, tempat lahirnya pendekatan “war on drugs” beberapa dekade lalu ketika Presiden Richard Nixon pada tahun 1971 mengeluarkan siaran pers mengenai kebijakan agresifnya terhadap narkoba yang ia sebut sebagai “enemy number one” lewat pendekatan agresif (punitive) itu termasuk pendekatan militeristik dan pemberlakuan hukuman mati yang didukung dana sangat besar ternyata tidak berhasil.
Semakin banyak penelitian dan literatur yang menyebutkan bahwa banyaknya faktor risiko di Amerika Serikat khususnya kenyataan kesenjangan sosial-ekonomi yang sangat lebar di negeri Paman Sam itu membuat peredaran dan penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba tetap tinggi.
Ketergantungan narkoba yang tinggi terutama di kalangan warga yang secara sosial-ekonomi terpinggirkan (seperti kalangan kulit hitam/African Americans, keturunan Latin/Hispanik, keturunan Asia, penduduk asli Amerika maupun kalangan miskin kulit putih).
Kita seharusnya belajar dari pengalaman negara-negara yang telah lebih berhasil melawan peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Sejumlah negara di Eropa Barat, Australia dan Selandia Baru dan juga negara-negara di Amerika Latin sejak beberapa tahun lalu sudah meninggalkan pendekatan “war on drugs” atau pendekatan yang lebih bertumpu pada hukum semata.
Negara-negara tersebut meningkatan pendanaan dan investasi pada pendekatan yang lebih berfokus pada kesehatan masyarakat (preventif dan rehabilitatif) dan pengurangan masalah-masalah struktural seperti kesenjangan ekonomi yang ternyata menghasilkan dampak-dampak yang lebih menggembirakan.
Negara-negara di Kawasan Amerika Latin seperti Kolombia, Brazil dan Uruguay yang dulu melakukan pendekatan “war on drugs” telah mereformasi kebijakan-kebijakannya.
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat Indonesia memperkaya perspektif mengenai langkah-langkah yang lebih baik dan lebih berbasis bukti menghadapi narkoba.
Kebijakan konvensional (war on drugs) yang secara ilmiah maupun secara ekonomi (cost effectiveness) sudah terbukti gagal di banyak negara (termasuk di negara-negara yang bahkan lebih kaya dan lebih bersih penegakan hukumnya dibandingkan Indonesia) seharusnya ditinjau ulang.
Melawan narkoba berbasis bukti dan menyeimbangkan pendekatan hukum dan kesehatan masyarakat memiliki peluang lebih besar mengurangi perdagangan, peredaran dan penyalahgunaan narkoba. (*)
Catatan: Tulisan di atas telah dipublikasikan di koran Tribun Timur edisi cetak Senin 10 April 2017