opini
Mencari Dokter ‘Mannaba’
Dari 83 FK yang ada di seluruh Indonesia, hanya 55 persen yang bermutu standar. Selebihnya berakreditasi C
Oleh: Muhammad Hatta
Alumnus School of Public Health University of Illinois at Chicago - Anggota Perhimpunan Alumni Amerika ALPHA-i
Tak dapat dipungkiri, nilai profesi kedokteran saat ini telah jauh menurun dibanding beberapa dekade lalu.
Hal ini diakibatkan oleh sistem kapitalisme pasar yang telah meruyak jauh hingga sendi-sendi pendidikan kedokteran negeri ini dan mendegradasi peran klasik dokter dari "kapten kapal" tim medis menjadi "buruh" pabrik di institusi-institusi kesehatan (Stoeckle, 1987).
Terbongkarnya kasus percaloan mahasiswa Fakultas Kedokteran Unhas beberapa waktu lalu merefleksikan paradigma masyarakat kita yang masih memandang dokter sebagai profesi pengumpul uang dan kaya raya.
Paradigma tersebut turut memicu gubernur di setiap provinsi untuk berlomba-lomba membuka fakultas kedoktran (FK) di daerah masing-masing.
BACA juga: Kenalkan Nur Rizka Fauziah, Karateka Cantik Peraih Medali Emas Piala Mendagri
Padahal menurut Kepala Badan PPSDM Kementerian Kesehatan Usman Sumantri, jumlah 116 ribu dokter Indonesia sudah memenuhi standar rasio yang ditetapkan oleh badan kesehatan dunia WHO (Tempo, 7/1/17).
Ibarat pabrik, proses "produksi massal dokter" ini jelas membawa konsekuensi pada mutu lulusannya.
Dari 83 FK yang ada di seluruh Indonesia, hanya 55 persen yang bermutu standar. Selebihnya berakreditasi C (Kompas, Mei 2016).
Tanpa disadari pula, proses tersebut juga menggerus nilai-nilai (values) yang semestinya melekat pada setiap lulusan sekolah elit ini.
Sudah jamak kita mendengar tentang sikap para dokter yang terkadang tak manusiawi terhadap pasiennya dan tak lagi mengindahkan etika profesi kedokteran.
Agar seorang dokter tampak dan bersikap lebih manusiawi, ia mesti menguasai ilmu komunikasi selaku kunci hubungan antarmanusia (Frankel,2009).
BACA juga: Pajaknya Aja Capai Rp 1 M, Ternyata Inilah 5 Sumber Kekayaan Syahrini
Pelbagai literatur juga menyebutkan komunikasi dokter yang baik akan menghasilkan hasil terapi yang lebih sempurna (Stewart et al, 2000), mengurangi stress dan problem non-fisik pasien (Roter et al, 1995) serta meningkatkan tingkat kepuasan pasien akan layanan yang didapatkannya (Flocke et al, 2003).
Sayangnya, seperti ilmu-ilmu humaniora lainnya yang dipandang sebelah mata, ilmu komunikasi belum mendapatkan tempat yang layak di dalam kurikulum pendidikan kedokteran.