opini
Belajar dari Lampu Merah
Sebenarnya banyak hal unik dan dapat kita ambil pelajaran dari jalanan.
Oleh: Andi Windra Sandi
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar
PERNAHKAH Anda memperhatikan sekeliling Anda saat berkendara di jalan raya? Atau pernahkah Anda termenung berpikir di lampu merah bersama tebalnya asap knalpot kendaraan bermotor dan teriknya sengatan sang surya?
Tentu yang dipikirkan adalah bukan mengenai kenapa ada lampu merah, tetapi bagaimana perilaku pengguna jalan. Sebenarnya banyak hal unik dan dapat kita ambil pelajaran dari jalanan.
Kita ambil contoh lampu merah. Persimpangan lampu merah adalah persimpangan yang menghubungkan jalan satu dengan jalan lainnya dengan lampu lalu lintas atau disebut traffic light sebagai pengatur waktu jalan para pengguna jalan.
Terdapat perbedaan antara persimpangan tanpa dan dengan lampu merah. Perbedaannya terletak hanya pada waktu dan kesabaran. Di persimpangan biasa kita boleh langsung belok atau lurus dengan hati-hati sesuka kita.
Berbeda hal dengan persimpangan lampu merah. Kita harus sabar menunggu giliran untuk berjalan beberapa waktu lamanya. Bila kita mau belajar, ternyata di tempat ini menyimpan banyak makna kehidupan.
Masyarakat pengguna jalan yang berhenti di persimpangan lampu merah ini juga merupakan respresentatif maasyarakat Indonesia, terkhusus untuk daerah kota makassar.
Jadi penilaian subyektif apa saja yang kita berikan boleh jadi berlaku juga untuk digeneralisasikan ke kehidupan nyata yang lebih luas.
Ada curahan hati para anak jalanan yang ditumpahkan dalam syair nyanyian sederhana, ada loper koran yang dengan cerdasnya menjual dagangannya sambil berorasi sesuai headline yang ada di surat kabar tertentu, ada perilaku pengguna kendaraan bermotor yang menjengkelkan, dan sebagainya.
Sesekali Anda mungkin pernah menemui kondisi di mana para pengendara mencuri pole position, meskipun mereka yang mendapatkannya bukan yang datang lebih awal.
Mereka yang berusaha mencuri posisi terdepan berpikir akan berangkat lebih awal dari yang lain saat lampu hijau menyala.
Tapi pernahkah dia memikirkan nasib pengendara lainnya yang ada di belakangnya? Inilah gambaran sebuah polemik yang menunjukkan betapa sebagian masyarakat kita saat ini sedang dirasuki rasa apatis dan egois.
Implikasinya ketertiban yang semakin memburuk. Sulit terwujudnya ketertiban bersama adalah kumpulan buah perkawinan antara ketidakdisiplinan dan keegoisan masing-masing individu.
Masing-masing ingin unggul dan mendapat tempat yang menurutnya baik walaupun dengan cara apapun, meskipun harus mengambil hak-hak orang lain.
Lihat saja kemacetan yang terjadi di jalan-jalan kota besar. Berbagai cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi kemacetan kadang sia-sia.
Tetapi masyarakat terus saja mengeluh pemerintah yang tidak becus mengurusi permasalahan kemacetan.
Pernahkah mereka, masyarakat yang terus saja menyalahkan pemerintah, intropeksi diri mengenai kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuatnya sehingga pemerintah pun kelimpungan menyelesaikan permasalahan kemacetan ini?
Permasalahan ini antara lain bisa tertangani apabila masyarakat mengubah pola pikirnya ke arah yang lebih positif. Caranya adalah dengan mengalah dan disiplin menegakkan peraturan yang sudah berlaku.
Mengalah bukanlah sikap kalah, tetapi ini adalah sikap bijak yang amat mulia kedudukannya. Di mana mengalah sesungguhnya adalah memberikan kemenangan bagi orang lain.
Disiplin maknanya secara sederhana adalah mengikuti secara penuh peraturan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Bila dua hal ini diaplikasikan dalam kehidupan, betapa indahnya bila kita mampu hidup tertib dan damai. Mari kita bangun dari diri kita sendiri. (*)
Catatan: Opini di atas telah dipublikasikan di Tribun Timur edisi cetak Sabtu, 11 Maret 2017