Opini
Diplomasi Jalur Kedua Antara Indonesia dan Australia
Konsul-Jenderal Australia di Makassar, Richard Mathews, menyatakan “Inilah pertama kalinya Festival Sinema-Australia Indonesia diadakan di Makassar.
Oleh: Sudirman Nasir
Pengurus Ikatan Alumni Australia (IKAMA) Sulsel
Festival Sinema Australia-Indonesia (FSAI) 2017 yang digelar Konsulat Jenderal Australia di XXI Trans Studio Mall (TSM), Makassar (28-29/1/2017) lalu dapat disebut sebagai salah satu perwujudan diplomasi jalur kedua (track two diplomacy) yang memperkuat hubungan antar kedua negara bertetangga ini.
Diplomasi jalur kedua sering dipahami sebagai jalur diplomasi yang dipelopori oleh aktor-aktor non-negara atau bukan oleh diplomat resmi yang mewakili negara melainkan dari warga dan antar warga sehingga sering juga disebut diplomasi antarwarga/orang (people to people diplomacy).
Warga tersebut berupa warga biasa dari berbagai profesi seperti seniman, ilmuwan, akademisi, aktifis, mahasiswa dan pelajar. Termasuk pelaku industri perfilman seperti para aktor, penulis naskah dan sutradara. Selain di Makassar, festival serupa digelar di berbagai kota besar lainnya di Indonesia.
Film tak pelak lagi merupakan salah satu medium diplomasi jalur kedua yang efektif karena dapat menyentuh emosi, memperlihatkan keragaman dan kompleksitas warga dan negara di mana film tersebut dibuat atau mengambil setting.
Film Australia yang baru berjudul Lion misalnya yang menjadi tontonan terkemuka dalam fesitival ini menceritakan kisah hidup Saroo Brierley, seorang Australia yang diadopsi dari India.
Film ini merupakan kisah tentang pencarian masa lalu, rumah dan keluarga yang hilang. Mengambil latar pertengahan tahun 1980-an, Saroo kecil (diperankan Sunny Pawar) tumbuh dalam kemiskinan di salah satu kota kecil India.
Kemiskinannya dipotret lewat pakaiannya yang kumal dan wajahnya yang lusuh serta lewat gambar-gambar yang mengisahkan kerasnya masa
kecilnya.
Saat usianya baru 5 tahun, dia harus ikut kakaknya, Guddu (Abhisek Bharate), melakukan pekerjaan apa pun demi bertahan hidup. Sampai suatu ketika tragedi terjadi. Ia terpisah dari Guddu, tertidur di kereta api yang membawanya jauh hingga ke kota Kolkata, beribu kilometer jauhnya dari kampung halamannya.
Tiba di kota asing yang padat dan hiruk pikuk penuh lautan manusia, Saroo ketakutan. Ia harus bertahan hari demi hari di jalanan lewat berbagai cara, berkelit dari ancaman kejahatan orang-orang dewasa di sekitarnya dan berakhir di sebuah panti asuhan yang keras.
Di panti asuhan ini ia lalu diadopsi pasangan asal Australia, Sue (Nicole Kidman) dan John Brierley (David Benham).
Adopsi ini di satu sisi adalah berkah namun juga membuat hidupnya semakin jauh dari keluarganya. Hingga 20 tahun kemudian, Saroo dewasa (diperankan Dev Patel) terusik pertanyaan tentang tempat kelahirannya.
Di sinilah keping-keping ingatan akan masa kecil dan keluarganya semakin berkecamuk memenuhi kepalanya.
Saroo lalu bergulat dengan upaya pencarian keluarga kandungnya yang nyaris membuat dia menyisihkan keluarga adopsinya. Lion yang sangat menyentuh ini diadaptasi dari buku yang ditulis Saroo Brierley berjudul Saroo, A Long Way Home.
Sutradara Garth Davis, sangat lincah menampilkan pesona keindahan sinematografi, kekuatan karakter para aktornya dan juga tentu daya pikat cerita itu sendiri. Tidak mengejutkan jika Lion mendapat enam nominasi dalam Academy Awards 2017.
Selain film-film Australia seperti Lion, film-film Indonesia dan pelaku film di Tanah Air seperti sutradara muda yang mulai diakui di panggung internasional yang juga adalah alumni sebuah universitas di Australia, Mouly Surya, menayangkan filmnya yakni What They Don’t Talk About When They Talk About Love di Makassar.
Festival tahun ini memamerkan pula karya sineas-sineas muda dalam Kompetisi Film Pendek. Dari hampir 300 film pendek yang masuk, enam finalis telah dipilih untuk berkompetisi memenangkan kesempatan hadir di Melbourne International Film Festival pada Agustus tahun ini.
Konsul-Jenderal Australia di Makassar, Richard Mathews, menyatakan “Inilah pertama kalinya Festival Sinema-Australia Indonesia diadakan oleh Konsulat Jenderal Australia di Makassar.
Festival ini mencontohkan kreativitas dunia perfilman di kedua negeri kita”, tambah Richard. Lewat film-film Australia yang ditayangkan dalam festival ini, warga Makassar dan Indonesia dapat melihat keindahan sekaligus kompleksitas negara dan warga negara tetangga terdekat kita di selatan ini.
Saling memahami dan menghargai karena pengetahuan yang meningkat mengenai negara tetangga kita akan memperkuat hubungan antar kedua negara dan hubungan antarwarga kedua negara.
Apalagi karena secara historis hubungan antar warga kedua negara sebenarnya sudah terentang lama.
Banyak di antara kita misalnya mungkin belum mengetahui bahwa tidak sedikit warga Australia pada saat revolusi fisik mendukung upaya para pejuang Indonesia melawan tentara-tentara Belanda (NICA).
Salah satu dukungan warga Australia yang paling fenonemal adalah boikot banyak anggota serikat buruh di Kota Brisbane, Queensland pada tahun 1947 terhadap kapal Belanda yang membawa persenjataan tentara-tentara NICA.
Boikot ini kemudian dikenal luas sebagai peristiwa Black Armada. Perdana Menteri kita saat itu , Sutan Syahrir, secara tegas menghargai dukungan warga Australia itu.
Dalam sebuah pidatonya, Syahrir berkata “Teman-teman di Australia, saya tidak banyak dikenal di antara kalian. Namun meskipun begitu saya menyebut kalian kawan-kawan saya....(khususnya) kepada para pekerja yang menolak mengangkut barang dan senjata ke kapal-kapal Belanda yang akan digunakan untuk melawan republik kami, juga kepada ribuan orang yang melancarkan demonstrasi-demonstrasi mendukung kemerdekaan kami, kalian adalah kawan-kawan saya”.
Ya, Indonesia dan Australia memang adalah teman dan tetangga dekat. Festival film seperti ini memperkuat hubungan antarwarga kedua negara. (*)