Tahun Baru dengan Semangat Toleransi
Gus Dur pernah berkata, “Tak penting apapun agama atau sukumu, jika kamu bisa berbuat baik kepada semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu”.
Rasanya aneh jika mendengar atau melihat kasus intoleransi akhir-akhir ini semakinberkembang di Indonesia. Perasaan ini wajar kiranya, jika melihat realita yang terjadi sepanjang tahun 2015 ini.
Banyak kasus pelanggaran dalam konteks primordial, yang sekaligus menandai catatan kelam republik yang ‘katanya’ mendaku sebagai penjaga marwah kebinekaan dan merayakan keberagaman dengan suka cita ini.
Sebagian masyarakat dengan pemahaman pluralisme tinggi, dan menjunjung semangat toleransi memang tidak sedikit di republik ini. Tetapi pertanyaannya, mampukah setiap warga sipil memahami nilai-nilai etis tersebut dan kemudian siap mengabdikan dirinya dalam ranah praksis-sosial? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak.
Berdasarkan data surveo Setara Institute yang dihimpun Tempo, terdapat 10 kota yang dinyatakan paling toleran dari 98 kota di Indonesia. Itu artinya, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah, baik pusat maupun daerah perihal sosialisasi edukasi tentang keberagaman dan cara memaknai keberagaman tersebut.
Tetapi, benarkah masyarakat tidak memahami betul akan makna toleransi? Atau malah regulasi pemerintah terlalu longgar dan diskriminatif, sehingga kebijakan tersebut secara tidak langsung melegitimasi kebenaran suatu kelompok tertentu, dan tentu konsekuensi logisnya pihak yang bertikai tidak merasa ‘berdosa’ dengan apa yang telah diperbuatnya.
Banyak peristiwa intoleransi yang melibatkan isu SARA di tahun 2015 ini, namun berdasarkan catatan Kontras, isu agama lebih menguat dan mengemuka dengan 96 praktik intoleransi. Mari kita review sedikitperistiwa intoleransi sepanjang tahun 2015 ini.
Konflik Tolikara
Ingatan kita masih segar betul ketika mengingat peristiwa intoleransi yang terjadi di Tolikara, Papua, tepat pada saat perayaan Idul Fitri. Gesekan horizontal tersebut sebenarnya merupakan buah dari benih dendam yang dilakukan oleh oknum beragama yang tidak menghendaki perayaannya terganggu oleh umat agama lain.
Peristiwa tersebut pecah ketika polisi melepaskan tembakan peringatan. Mereka lalu membakar kios, yang kemudian merembet hingga membakar serta menghanguskan puluhan rumah dan toko serta sebuah musala. Peristiwa ini menjadi bahan pembicaraan di mana-mana, ada yang menyebut dan mengutuk tindakan tersebut sebagai terorisme.
GKI Yasmin
Seperti yang penulis uraikan di atas, kasus intoleransi bukan saja datang dari niatan masyarakat yang awam tentang pemahaman keberagaman dan toleransi yang minim. Tetapi, regulasi pemerintah terkait juga bisa menjadi sumber yang melahirkan tindakan-tindakan yang dipengaruhi ekstremisme eksklusivis ini.
Seperti di Bogor, Jawa Barat, nasib puluhan anggota jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin saat ini masih belum jelas, terkatung-katung, tidak memiliki tempat untuk beribadah.
Sebenarnya, ketidakjelasan menyangkut rumah ibadah ini sudah berlaku semenjak lima tahun silam. Pemerintah kabupaten setempat tidak mampu untuk bertindak moderat, bahkan melalui keputusannya yang kontroversial, pemerintah kabupaten Bogor melarang segala kegiatan dan aktivitas keagamaan GKI Yasmin. Sampai kasus ini bergulir ke peradilan tinggi, nasib jemaat juga tak kunjung mendapatkan kejelasan. Perayaan Natal beberapa hari yang lalu, jemaat GKI Yasmin bahkan melakukan ritual ibadah di depan Istana Negara, sebagai protes terhadap negara yang tidak demokratis.
Aceh Singkil
Kepicikan dalam beragama marak terjadi sepanjang tahun 2015 yang baru saja lewat. Terakhir terjadi di Aceh, tepatnya di Singkil. Kasus teknisnya serupa dengan peristiwa yang terjadi di Tolikara. Perbedaanya, jika di Tolikara pihak yang bertikai kedua belah pihak (sipil) secara langsung dan berhadap-hadapan, di Singkil ada intervensi negara untuk mengambil hak demokrasi sipil dalam menjalankan ibadah secara bebas.
Intervensi negara bisa terasa dengan upaya pembiaran terhadap segenap kelompok eksklusif yang nampak bersemangat ketika membumihanguskan bangunan yang dianggapnya sesat. Tak hanya pada level pembiaran, pemerintah juga mengerahkan aparatur negara untuk membongkar 10 gereja di Singkil (Kompas 14/10).
Pembongkaran rumah ibadah tersebut diberlakukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak agama yang dulu pernah berseteru. Intinya melarang pembangunan gereja di sekitar lokasi yang telah disepakati.
Banyak kasus intoleransi yang merenggut hak-hak sipil dalam menjalankan ritual primordialnya. Sebenarnya tidak hanya dalam kasus agama, ada beberapa kekerasan atas nama budaya terjadi. Namun sepanjang tahun 2015 yang dominan dan mengemuka justru perihal sesuatu yang amat sakral seperti agama.
Tulisan ini tidak bermaksud mengungkit sejarah kelam perjalanan bangsa. Namun hanya sekadar coretan reflektif untuk menyongsong tahun 2016 yang lebih demokratis dan toleran.
Perbedaan bukan untuk dirisaukan, apalagi diperhadapkan, tetapi dirayakan. Gus Dur pernah berkata, “Tak penting apapun agama atau sukumu, jika kamu bisa berbuat baik kepada semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu”.
Oleh:
Wira Prakasa Nurdia
Pegiat di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta, kelahiran Makassar