Sinjai Lo
Sinjai mampu mempertahankan identitas bahasanya sekalipun bahasa keseharian masyarakat Sinjai merupakan Bahasa Bugis seperti halnya masyarakat Bone.
"SAYA tidak tahu ciri-cirinya pak karena dia pake topeng. Tapi saya yakin orang itu orang Sinjai."
Jawab si korban.
"Bagaimana kamu tahu dia orang Sinjai?" Tanya penyidik penasaran.
"Karena ketika dia menodong saya pak, dia berkata 'harta atau nyaha'. Hanya orang Sinjai pak yang bilang nyawa itu 'nyaha'." Jawabnya.
Cerita humor ini pertama kali saya dengar ketika SD. Belakangan, saya beberapa kali menjumpainya di jejaring sosial facebook. Dibalik leluconnya terselip nilai identitas.
Di lain waktu, kesempatan, dan tempat.
"Kenapai lo?" Tanya seorang teman kepada temannya.
"Oh orang Sinjai ya." Timpal seorang lain yang belum dikenalnya.
Selanjutnya dapat ditebak. Keakraban dua orang yang saling menyapa itu lebih akrab. Mereka diakrabkan oleh hanya dua huruf "lo". "Lo' adalah sebuah identitas.Ini Sebuah pengenal. Sebuah pemersatu.
Tentang Sinjai
Momen 27 Februari, saban tahun selalu menjadi hari terpenting bagi Kabupaten Sinjai. Tahun ini, ia memperingati ulang tahunnya yang ke 451. Bukan usia yang muda. Dalam konteks usia manusia, usia ini sudah sangat tua. Namun tetap saja lebih muda jika dibandingkan dengan tiga tetangga yang mengapitnya yaitu Bulukumba, Gowa, dan Bone.
Membincangkan Sinjai, kita tak akan lepas dari pembandingan dengan tetangganya. Dan mau tak mau, suka atau tidak suka, para tetangganya mungkin lebih populer dibandingkan Sinjai. Bulukumba misalnya dengan ikon Pantai Bira. Gowa dengan ikon Malino. Bone dengan Aru Palakka dan tokoh-tokoh nasionalnya. Tak jarang dalam skala nasional ada saja yang mengira menyebut Sinjai adalah sebuah kesalahan teknis. Mereka mengira Binjai, sebuah kabupaten di Sumatera Utara.
Meski demikian tidak serta merta Sinjai tenggelam dalam "arus" ketiga tetangganya. Dalam beberapa hal, Sinjai justru memiliki identitasnya sendiri termasuk dalam hal bahasa. Memang jika dibandingkan dengan ketiga tetangganya, selain memiliki ikon masing-masing mereka juga memiliki ikon bahasa yang cukup kuat. Bulukumba dengan Bahasa Konjo. Gowa dengan Bahasa Makassar. Bone dengan Bahasa Bugis Bonenya.
Dilihat dari besar wilayah dan jumlah penduduk yang kecil, mestinya Bahasa Bugis Sinjai telah menjadi korban teori penyebaran dalam ilmu bahasa. Mestinya Sinjai telah menjadi korban "gempuran" bahasa ketiga tetangganya. Sebab keseluruhan batas darat Sinjai dikelilingi oleh ketiga tetangganya. Sedangkan bagian Sinjai yang lain -Sinjai Timur dan Pulau Sembilan- berbatasan langsung dengan laut.
Tetapi sebaliknya Bahasa Bugis Sinjai justru mampu bertahan bahkan berpengaruh lebih kuat di daerah irisan atau perbatasan. Secara umum, masyarakat perbatasan Sinjai-Bulukumba (Tanete), Sinjai-Gowa (Tombolopao), dan Sinjai-Bone (Kajuara) lebih fasih berbahasa bugis berdialek Sinjai dibandingkan dengan bahasa ikon kabupatennya sendiri.
Bahasa adalah Identitas
Sinjai tetap mampu mempertahankan identitas bahasanya sekalipun bahasa keseharian masyarakat Sinjai merupakan Bahasa Bugis seperti halnya masyarakat Bone. Namun ada perbedaan dalam beberapa kata meski merujuk pada satu makna atau benda.
Sebagai orang Sinjai yang besar di Bone, pengalaman hidup di Bone memberikan perbedaan yang cukup terang. Satu ketika misalnya saya diminta mengambil "panten". Serta merta saya mengambil "literan". Dalam Bahasa Bugis Sinjai, alat untuk mengukur satu liter disebut "panteng". Namun sepertinya "panten" dalam bahasa Bugis Bone berarti "ember".
Contoh lain adalah kata "matu'". Perbincangan orang Sinjai dan Bone yang tidak sepaham, bisa jadi bermasalah dengan kata ini. "Matu" dalam persepsi orang Sinjai adalah nanti dalam hitungan tahun. Sebaliknya bagi orang Bone, kata ini diartikan dengan nanti dalam hitungan menit atau jam. Pun demikian dengan beberapa kata yang lain. Jagung bagi orang Sinjai diartikan "bata" tetapi bagi orang Bone diartikan "warelle'.
Perbedaan lain adalah penyebutan berbeda pada kata tertentu meski merujuk satu benda atau maksud. Satu contoh telah disebutkan diawal tulisan ini yaitu nyaha. Huruf "w" dalam bahasa Bugis Sinjai seringkali ditukar dengan "h" sementara dalam bahasa Bugis lain tetap "w". "Kemarin" bagi orang Bone disebut "diwenni" sedangkan bagi orang Sinjai disebut "dihenni".
Pun demikian dengan kata-kata lain yang serupa.
Perbedaan mencolok lain adalah dari sisi intonasi dan dialek. Jika intonasi Bahasa Bugis Bone seringkali diidentikkan dengan kelembutan, kesantunan dan diucapkan secara pelan dan penuh cengkok sebaliknya, Bahasa Bugis Sinjai sering diidentikkan dengan kelancangan dan diucapkan cepat dan tanpa cengkok. "Lurus" saja sebut orang kebanyakan. Bagi orang yang tidak mengenal dengan baik dapat saja menyebutnya sebagai satu karakter kelancangan.
Bahasa Itu Budaya
Bahasa dapat menjadi representasi etnis tertentu. Dengan sendirinya, bahasa sebagai salah satu produk budaya adalah cerminan budaya tertentu. Bahasa sebagai satu wajah budaya mestinya menempatkan kita pada posisi untuk tidak serta merta menjastifikasi seseorang dari bahasanya.