Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Catatan HUT ke-15 LAPAR: Demokrasi dan Pluralisme Kuat di Wacana

tepatnya Tanggal 17 April 1999, LAPAR Sulsel hadir sebagai salah satu LSM untuk memberi konstribusi terhadap dinamika demokrasi

Editor: Ilham Mangenre
zoom-inlihat foto Catatan HUT ke-15 LAPAR: Demokrasi dan Pluralisme Kuat di Wacana
dok. tribun
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

Jelang pemilukada langsung diterapkan 2005 lampau, elit-elit lokal yang dimaksudkan tadi menyiapkan diri untuk terlibat sebagai kandidat kepala daerah.

Konsolidasi dan penguatan jaringan ekonomi-politik dilancarkan. Tak pelak, panggung demokrasi lokal semakin disesaki aktor-aktor yang terdiri dari elit lama dan jejaringnya yang sejak era Orde Baru memang berkiprah disejumlah ruang, terutama ekonomi, politik, dan pemerintahan.

Akibat semua itu, rakyat sebagai Demos menjadi tak berdaya tak berdaulat. Posisi mereka di aras demokrasi lokal tak lebih sebagai objek, atau angka-angka statistik yang bernyawa.

Kedua, pluralisme. Sulawesi Selatan boleh dikata adalah salah satu daerah yang kurang efektif mengelola pluralitas warganya. Dengan modal sosial beragam etnik, budaya dan agama provinsi ini sesungguhnya bisa menjadi kuat dalam membangun tata sosial-kemasyarakatan yang manusiawi. Namun, sayangnya, hal itu tak terfaktakan.

Setelah otonomi daerah tahun 2001 silam, kekacauan pluralitas semakin menjadi. Kebebasan berekspresi diapresiasi dengan memunculkan kehendak menerapkan syariat Islam sebagai regulasi lokal.

Ironisnya, aspirasi ini malah direspon positif oleh sejumlah kalangan dilevel parlamen, hingga eksekutif didaerah-daerah. Padahal, sebagaimana diketahui, dasar Republik ini adalah Pancasila dan UUD 1945.

Amatan LAPAR, fenomena ini adalah bentuk pertemuan kepentingan sejumlah pihak dengan kelompok masyarakat tertentu yang menginginkan Syariat Islam menjadi regulasi. Dengan kata lain, diresponnnya aspirasi itu dianggap sebagai asset politik untuk keperluan pilkada yang dijalankan 2005 lalu.

Dampaknya, politik identitas (Islam) tampil mendominasi ditengah pluralitas warga Sulsel. Kelompok warga minoritas sesekali menjadi penonton, dan bahkan seringkali diserang oleh kelompok agama tertentu tanpa penindakan secara hukum.

Menariknya, baik pluralisme maupun demokrasi senantiasa didengungkan oleh elit lokal kita, terutama yang duduk sebagai wakil rakyat maupun di eksekutif. Kedua isu itu senantiasa dibicarakan di forum-forum resmi.

Dengan situasi begitu, demokrasi sama sekali tak mampu membingkai pluralitas warga. Dan sebaliknya, pluralisme tak mampu diletakkan sebagai energi yang memperkuat demokrasi lokal didaerah ini.

Padahal, secara teoritis, pluralitas warga dapat memperkuat demokrasi, dan demokrasi dapat membingkai fakta pluralitas warga.

Oleh karena itu, sepanjang sejarahnya, LAPAR berkesimpulan bahwa sesungguhnya pluralisme dan demokratisasi di daerah ini hanya kuat di wacana, tetapi lemah dalam praktek nyata. Pada masa mendatang, hal ini sebaiknya diletakkan sebagai agenda pembangunan manusia di aras lokal.(*)

ABDUL KARIM
Dirktur Eksekutif LAPAR Sulsel

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved