Polemik Hasil Pemilihan Rektor Unhas
Prof Halide : Yudisial Review Peraturan Menteri Sudah Terlambat
Sejak awal, saat saya tahu menteri punya hak suara 35 persen itu, saya bilang sekalian tidak usah adakan pemilihan rektor.
Penulis: Anita Kusuma Wardana | Editor: Muh. Taufik
MAKASSAR,TRIBUN-TIMUR.COM-Mantan Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan, Prof Halide mengatakan upaya para guru besar pendukung calon rektor Dr Wardihan, untuk mengajukan judisial rewiew atas Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan No. 33 tahun 2012 tentang pengangkatan rektor sudah terlambat karena pemilihan rektor di Universitas Hasanuddin (Unhas) telah selesai.
Jauh hari sebelum pemilihan rektor Unhas, Prof Halide juga sudah menyampaikan kepada guru besar Unhas termasuk kepada Prof Aswanto dan pakar-pakar hukum lainnya di Unhas untuk mengajukan judisial rewiew atas peraturan menteri tersebut.
"Sekarang sudah terlambat. Sejak awal, saat saya tahu menteri punya hak suara 35 persen itu, saya bilang sekalian tidak usah adakan pemilihan rektor. Porsi 35 persen itu sangat besar, enak saja menteri punya hak sebesar itu, ini jadi lebih mengarah pada sentralisasi,"ujarnya.
Menurutnya, hak suara 35 persen menteri dalam proses pemilihan rektor telah melanggar otonomi universitas. Sehingga, proses demokrasi di dalam sebuah institusi pendidikan tinggi seolah di preteli oleh hak suara tersebut, padahal kampus selalu menyerukan demokrasi.
Seharusnya, suara anggota senat perlu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan rektor. Tak hanya itu, hak suara menteri sebesar 35 persen itu mengudang upaya-upaya politik untuk meraihnya.
"Saat saya menjadi ketua pemilihan rektor pada masa peralihan kepemimpinan Rady Gani ke Idrus, saya kawal betul. Seharusnya suara senat menjadi pertimbangan utama, kemudian menteri memberikan pertimbangan dan rekomendasi, bahkan setelah itu prosesnya berlanjut ke Badan Penentu Jabatan yang kemudian diserahkan ke presiden untuk dikeluarkannya surat keputusan oleh presiden,"jelasnya.
Pengajuan yudisial review atas peraturan menteri tersebut, menurut Prof Halide juga akan menggunakan biaya yang besar.
"Kalau ada siapa yang bayar biaya dalam proses ini, jadi memang sudah terlambat. Tapi memang perlu diajukan perbaikan karena peraturan menteri itu sangat lemah,"tambahnya.
Guru besar FISIP Unhas, Prof Deddy T Tikson juga mengatakan upaya untuk melakukan yudisial review atas peraturan menteri tersebut sangat memiliki peluang yang besar. Pasalnya dalam aturan tersebut tidak dijelaskan benar pedoman operasional hak suara menteri sebesar 35 persen.
"Dalam peraturan menteri itukan memang tidak disertai penjelasan mengenai pedoman operasional hak suara menteri jadi memang ini lemah dan sangat mungkin untuk diajukan yudisial review,"ujarnya.
Sementara itu, Indar Arifin menilai upaya yang dilakukan Prof Aswanto dan guru besar lainnya merupakan dinamika dalam demokrasi dan gugatan itu sifatnya sah saja.
"Tetap harus dihargai apalagi kalau dianggap tidak memberikan rasa keadilan bagi pihak yg menggugat. Rasa keadilan itu penting dalam memaknai politik dan demokrasi. Tentang perlu atau tidak itu sangat tergantung persepsi mereka dalam melihat objeknya,"ujarnya
Menurutnya, politik dan demokrasi itu indah karena kita diberi kebebasan dengan penuh tanggung jawab terhadap mengekspresikan kehendak berdasarkan aturan berlaku. (*)