Sepatu Syahrul dan Kesederhanaan Datuk Najib
“BUKA sepatu atau tidak, ya?” Begitu Syahrul Yasin Limpo bertanya kepada kolega dan staf protokoler Pemprov Sulsel
Penulis: Dahlan Dahi | Editor: Ridwan Putra
Najib bercerita, tiga pekan lalu ia ke Jakarta dan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Pertemuan dengan Es Be Way (SBY) berlangsung hangat. Kepada beliau saya bilang, saya orang Bugis-Makassar,” kata Nadjib sambil tertawa.
***
SETELAH menerima pejabat Sulsel di ruang tamu, Datuk Najib mengajak tamunya ke meja makan. Di sana, antara lain, tersaji rujak, putu, gogos, dan koci-koci.
“Pak Najib hebat,” komentar Mayjen Amril Amir. “Beliau menyajikan makanan ke piring semua tamunya, barulah beliau mengambil untuk dirinya sendiri.”
“Kalau kita, wah, kita ambil semua yang enak-enak dulu, baru anak buah,” kelakar Kapolda Johny Waenal Usman.
Sambil makan, Datuk Najib bercerita mengenai filosofi “tiga ujung” di kalangan Bugis-Makassar. Ini model “diplomasi” yang mengedepankan pendekatan “ujung lidah”, “ujung badik”, dan “ujung kemaluan”.
Di mana saja orang Bugis-Makassar merantau, pedekatan “ujung lidah” pertama-tama dikedepankan. Kalau bicara tidak menpan, coba pendekatan perkawinan (ujung kemaluan). Kalau pun tetap tidak bisa, ya sudah, badik yang bicara.
“Datuk Najib tampak sangat memahami budaya Bugis-Makassar,” komentar Syahrul.
Ketika pejabat muspida dijamu makan, seorang anak muda berpakaian putih menghampiri staf gubernur. Ia menawarkan minum.
“Mau kopi sabah, teh, atau air suam,” anak muda itu, Dino Akbar, menawarkan. Pembantu di kediaman pribadi PM Najib itu berasal dari Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, yang dekat dengan perbatasan Aceh.
Untunglah tidak pesan air suam. Sebab air suam ternyata hanya air putih. Kopi Sabah, yang disajikan dengan gula batu, lumayan enak. (dahlan)