Jawaban Sri Mulyani Usai Disindir BPK RI Terkait Utang Meroket & Pertumbuhan Tak Capai Target
Jawaban Sri Mulyani Usai Disindir BPK Terkait Utang Meroket dan Pertumbuhan Tak Capai Target
Jawaban Sri Mulyani Usai Disindir BPK Terkait Utang Meroket dan Pertumbuhan Tak Capai Target
TRIBUN-TIMUR.COM,- Menteri keuangan Sri Mulyani akhirnya memberikan tanggapannya terkait pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyebut rasio utang pemerintah yang terus bergerak naik sejak empat tahun lalu yaitu 2015.
Dalam laporannya BPK RI menyebutkan peningkatan rasio utang pemerintah dimulai dari 2015 hingga 2017.
Baca: Benarkah Prabowo ke Dubai Cek Kesehatan & Urusan Bisnis Seperti Kata BPN? Ini Fakta dan Rombongannya
Baca: ALASAN Polri Belum Juga Tangkap Aktor Intelektual Kerusuhan Aksi 22 Mei, Takut Karena Papan Atas?
Baca: Pengakuan Mengejutkan Tetangga Tersangka Calon Pembunuh 4 Tokoh Nasional, Sering Sebar Ginian
Diberitakan Tribunnews.com, Pada 2015 rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 27,4 persen, tahun 2016 sebesar 28,3 persen, tahun 2017 naik lagi jadi 29,93 persen.
Meski pada 2018 rasio utang pemerintah mengalami penurunan jadi 29,81 persen.
Walaupun demikian, pada 2018 rasio utang menurun menjadi 29,81 persen.
BPK menyatakan, peningkatan rasio utang tersebut tidak lepas dari realisasi pembiayaan utang dari tahun 2015-2018 yaitu Rp 380 triliun pada 2015, Rp 403 triliun pada 2016, Rp 429 triliun pada 2017, dan Rp 370 triliun pada 2018.
Sampai dengan 31 Desember 2018, nilai pokok atas utang pemerintah sebesar Rp 4.466 triliun yang terdiri dari utang luar negeri sebesar Rp 2.655 triliun atau 59 persen dan utang dalam negeri sebesar Rp 1.811 triliun atau 41 persen.
Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) memberikan beberapa catatan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2018.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan terus meningkatnya rasio utang pemerintah disebabkan tingginya transfer daerah yang memiliki porsi sepertiga dari keseluruhan belanja pemerintah.
Akan tetapi, besaran belanja transfer daerah tersebut tidak tercatat di dalam neraca pemerintah.
"Sehingga tentu saja ini akan mempengaruhi dari sisi kemampuan kita untuk menunjukan bahwa belanja pemerintah terlihat di dalam neraca keuangannya pemerintah pusat," ujar Sri Mulyani ketika ditemui di Jakarta, Selasa (28/5/2019) dilansir dari Kompas.com.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, laporan keuangan daerah hingga saat ini belum terkonsolidasi dengan laporan pemerintah pusat.
Belanja ke daerah yang tidak masuk ke neraca pemerintah pusat membuat ada ketimpangan antara belanja dan penerimaan.
Selain itu, belanja pemerintah masih didominasi belanja barang untuk pembayaran gaji hingga belanja operasional.
