Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mengenang HB Amiruddin Maula

apa yang dilakukan Amiruddin Maula akan memotivasi kabupaten lain untuk melakukan kebijakan serupa. Sejak saat itu, akta kelahiran gratis menjadi...

Editor: Aldy

Mengenang HB Amiruddin Maula, mengingatkan penulis pada salah satu kisah sukses advokasi akta kelahiran. Pada masa ketika Maula menjadi Wali Kota Makassar periode 1999-2004, mainstream pemikiran yang berkembang adalah akta kelahiran merupakan salah satu target retribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD).
Akta kelahiran belum dikaitkan dengan hak anak dengan berbagai implikasinya bagi pemenuhan hak anak dan perlindungan anak, terutama anak-anak yang termasuk kategori children in needs special protection (CNSP). Bisa dibayangkan, bagaimana alotnya advokasi yang dilakukan untuk mengubah paradigma pemerintah.
Sebagai contoh, pemasukan keuangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar, paling signifikan dikaitkan dengan mahalnya biaya retribusi yang ditarik dari masyarakat. Bila semula biaya pengurusan akta kelahiran hanya sebesar Rp 4 ribu, dengan adanya Perda Nomor 13 Tahun 1999 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, naik menjadi Rp10 ribu sampai Rp15 ribu untuk WNI. Belum lagi jika pengurusan akta kelahiran dilakukan lewat dari 60 hari sejak bayi lahir, maka akan dikenakan biaya denda sebesar Rp10 ribu.
Ketentuan baru yang ditetapkan tanggal 9 Agustus 1999 oleh Maula ini, tak ayal berhasil mendongkrak pemasukan PAD Kota Makassar dari pos akta kelahiran. Akibat target pemasukan ini, Kadispenduk & Capil, Amir Madjid (ketika itu), menyatakan pengurusan akta kelahiran sudah kehilangan fungsi sosialnya.

Mengubah Kebijakan
Sejatinya, setelah disahkannya UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara hirarki perundang-undangan mengugurkan Perda Nomor 13 Tahun 1999. Karena telah terbit regulasi yang lebih baru, apalagi dengan kedudukan yang lebih tinggi. Namun, asas-asas hukum ini tak mudah diterapkan rupanya.
DPRD Kota Makassar dalam suatu kesempatan public hearing malah mengesankan perlunya bargaining politik bila gagasan akta kelahiran gratis ini akan dimasukan sebagai agenda legislasi daerah. Saya catat betul pernyataan salah seorang anggota DPRD Makassar yang secara diplomatis menyatakan, setelah dibahas di dewan, masalah akta kelahiran belum tentu akan di-Perda-kan. Untuk mem-Perda-kan sebuah masalah, akan sangat tergantung pada deal yang disepakati antara DPRD dengan Pemkot Makassar.
Guna membenahi praktik pencatatan kelahiran yang tidak berpihak pada upaya perlindungan anak, sejumlah aktivis dan Pemkot Makassar melakukan pertemuan secara maraton di Hotel Marannu dan Restoran Pualam. Pertemuan dimaksudkan untuk menyamakan persepsi tentang pencatatan kelahiran.
Pertemuan ini diprakarsai oleh Makassar Lawyer Club, sebuah forum yang beranggotakan pengacara dan advokat dari Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan NGO yang bergerak di bidang advokasi. Penulis beberapa kali hadir pada pertemuan yang diikuti, antara lain Amiruddin Maula, Andi Rudiyanto Asapa dari Makassar Lawyers Club, dan Christina Joseph (alm) yang merupakan Direktur LBH-P2i sekaligus Wakil Ketua LPA Sulsel.
Selain itu, juga hadir Hasbi Abdullah dari LBH Ujungpandang, AJ Sudarto dari Plan Indonesia, dan Purwanta Iskandar (Kepala Perwakilan UNICEF Sulsel). Pada salah satu pertemuan yang dilaksanakan tanggal 6 Mei 2002, Christina Joseph, mengatakan bahwa walikota sebaiknya merespons cepat keinginan masyarakat agar dilakukan perubahan terhadap Perda Nomor 13 Tahun 1999.
Ini perlu dilakukan karena persoalan akta kelahiran merupakan hak anak yang pertama yang diatur dalam DUHAM, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Hak Anak (KHA). Pemerintah Indonesia bahkan telah meratifikasi KHA melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Ia menyarankan, sebaiknya poin akta kelahiran dikeluarkan dari Ranperda soal Pencatatan Sipil yang akan dibuat Pemkot Makassar.
Sempat diusulkan agar pencanangan kampanye akta kelahiran dilakukan pada tanggal 20 Mei 2002, pada Hari Kebangkitan Nasional. Namun, A.J. Sudarto menyarankan di forum itu, untuk memanfaatkan momentum Hari Anak Nasional, 23 Juli 2002, sebagai awal kampanye pemberian akta kelahiran gratis. Kebetulan, di Makassar akan diselenggarakan Temu Anak Nasional di mana anak-anak dari seluruh Indonesia akan berkumpul guna membicarakan masalah-masalah mereka untuk direkomendasikan ke berbagai pihak.
Maula menjelaskan bahwa proses pencatatan kelahiran dilakukan untuk mengetahui angka pertumbuhan dan pertambahan penduduk. Masalahnya, masih banyak anak-anak yang tidak jelas kelahirannya dan tidak jelas siapa yang harus mendaftarkan mereka. Meski begitu, Maula berjanji akan menyinkronkan misi pemerintah dengan misi perlindungan anak.
Maula berdalih, selama ini, Pemkot Makassar menetapkan biaya penggantian cetak akta kelahiran karena pemerintah belum mampu menanggung semua biaya yang diperlukan untuk itu. Kalau dianggap sebagai beban, maka bisa dievaluasi. Sedangkan, soal perbedaan biaya anak pertama dan selanjutnya, dilakukan sebagai upaya menekan jumlah laju pertumbuhan penduduk. Walikota kemudian menjanjikan, paling lambat minggu ke-3 atau minggu ke-4 bulan Mei 2002, akan membuat suatu kebijakan yang memberikan keringanan bagi pengurusan akta kelahiran, terutama bagi anak-anak kurang mampu.
Pada kesempatan diskusi kritis, terbuka, dan dalam suasana penuh demokratis itu, penulis mengatakan bahwa terkesan walikota melihat seolah-olah ada kepentingan berbeda antara kepentingan pemerintah dan kepentingan perlindungan anak. Merupakan kekeliruan bila memandang keduanya secara dikotomis. Padahal, kalau kita menyadari bahwa pemerintah adalah penyelenggara negara maka pemerintah mestinya mengabdikan segala potensinya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Penulis menambahkan, dari aspek HAM, ada tiga kewajiban generik yang harus dilakukan negara terhadap warganya, yakni memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan menghargai (to respect) hak-hak anak.
Hari Anak
Akhirnya, pada malam tanggal 22 Juli 2002, sekira pukul 22.00 Wita, tepat sehari menjelang Hari Anak Nasiona, terbetik kabar bahwa Maula akan menandatangani Surat Keputusan (SK) tentang pembebasan akta kelahiran bagi anak-anak tidak mampu dan anak-anak terlantar. Kabar itu menjadi jelas setelah Christina Joseph, yang menjadi moderator pertemuan, mempersilahkan walikota menyampaikan semacam pokok-pokok pikirannya. Menurut walikota, penandatanganan SK ini merupakan tantangan bahwa kita harus bertindak cepat dalam upaya perlindungan anak.
Ditambahkan, kita butuh pengaturan yang bersifat lokal dalam semangat otonomi daerah tapi kita juga butuh referensi dari berbagai bahan internasional yang memperkuat wawasan global kita untuk lebih menghargai hak-hak anak. Wali kota mengakui bahwa anak-anak masih sering tidak di-rekeng (maksudnya, tidak diperhitungkan) dalam berbagai kebijakan pemerintah.
Wali kota kemudian membuat pernyataan yang sangat penting dan mendasar bahwa “kalau sekarang hak anak yang kita upayakan baru sebatas akta kelahiran maka sebenarnya terlalu simpel perjuangan kita.
Mestinya, kita lakukan perubahan pada Perda yang memberikan perlindungan anak secara menyeluruh”. Kepala Perwakilan UNICEF Sulawesi Selatan, Purwanta Iskandar, memuji langkah yang diambil Walikota Makassar. Purwanta berharap, apa yang dilakukan Amiruddin Maula akan memotivasi kabupaten lain untuk melakukan kebijakan serupa. Sejak saat itu, akta kelahiran gratis menjadi kebijakan di berbagai daerah di Sulsel dan menjadi jualan politik saat Pemilukada.(*)

Oleh;
Rusdin Tompo
Aktivis Hak & Perlindungan Anak

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved