Kampanye dan Prinsip Etika Politik
seorang profesor-doktor dan mantan ketua MPR, Amin Rais, yang menganalogikan kontestasi pilpres dengan Perang Badar. Ada tiga kekeliruan...
Rapat KPU untuk penentuan nomor urut pasangan capres-cawapres sangat menarik diikuti. Kedua pasangan calon pemimpin nasional begitu akrab dan santun. Prabowo, yang memang datang belakangan bersama pasangannya Hatta Radjasa, memberi hormat kepada Megawati, kemudian menyalami Jokowi-JK bahkan merangkul bahu Jokowi yang duduk disampingnya. Andai saja “kemesraan itu tidak cepat berlalu”, tulus adanya dan bukan basa-basi politik, kita boleh berharap masa kampanye kali ini akan lebih santun daan beradab.
Niccolo Machiavelli
Saat-saat seperti ini mengingatkan kita pada seorang filsuf, sejarahwan, penulis dan diplomat Italia jaman Renaissance, Niccolo di Bernardo Machiavelli (1469-1527). Namanya terutama dikenang dalam istilah negatif “Machiavellisme” untuk mencirikan para politisi jahat yang digambarkan dalam bukunya The Prince. Buku itu menjadi sangat laris dibaca dan dikutip karena si pengarang seolah-olah membenarkan perilaku yang identik dengan setan dan immoralitas. Niccolo antara lain menulis: “Perbuatan kejam, curang, dan irreligius meningkatkan martabat penguasa baru dalam sebuah Negara, saat kemanusiaan, ketangguhan, dan agama tidak mempunyai kekuatan lagi”.
Dengan itu Machiavelli mau mengatakan “main kotor tidak apa-apa”, karena politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apapun caranya. Dari sinilah muncul istilah “tujuan menghalalkan cara” (finis iustificat medium).
Bagi Machiavelli, politik yang baik pasti punya tujuan yang baik, maka tidak apa-apa diraih dengan cara apapun: kalau tidak bisa dengan cara yang baik, dengan cara kejam, curang dan kotorpun jadi! Apalagi dalam situasi dimana agama tak lagi menjadi kekuatan moral (moral force), bahkan sudah direndahkan menjadi alat kepentingan politik.
Menjadi pertanyaan, ukuran “baik” itu menurut siapa? Bagaimana kalau politik itu baik di permukaan atau dalam rumusan visi-misi saat kampanye, tetapi sebenarnya menyembunyikan tujuan-tujuan dan agenda terselubung (hidden agendas) yang akan dipaksakan setelah terpilih?
Machiavelli membongkar pemahaman politik dari pemikir pertama politik, Socrates (469-399 SM) dan cucu-muridnya Aristoteles (384-322 SM) Dalam konsep Socrates, politik adalah seni yang mengandung kesantuan, yang ukurannya adalah keutamaan-keutamaan moral.
Menurut Aristoteles, politik (Yunani: polis = kota) dipahami sebagai tatacara mengelola kota (negara) untuk kesejahteraan bersama seluruh warganya (polites). Aristoteles menyempurnakan konsep Socrates dengan merumuskan politik sebagai “seni mengelola kekuasaan dengan konstitusi (politeia) demi kepentingan umum”. Jadi, tujuan akhir politik adalah kepentingan umum seluruh rakyat, bukan kepentingan partai, kelompok penguasa, apalagi pribadi. Kalau politik itu seni, yang pada dirinya sendiri mengandung keutamaan moral, dan moralitasnya ditentukan oleh tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, maka keluhuran politik tidak perlu diragukan lagi. Tetapi karena politik selalu menyangkut kekuasaan, maka praksis politik tidak bisa luput dari perilaku koruptif (=penyalahgunaan kekuasaan) para pelakunya. Tidak ada yang salah dan kotor dengan politik; yang membuat politik kotor adalah para politisi immoral.
Bahasa Kekerasan
Kampanye menurut definisi Rogers & Storey (1987) adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak, dan dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. Dalam koteks pilpres, kampanye adalah kegiatan kedua pasang kontestan bersama tim pemenangan masing-masing untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi-misi, program dan/atau informasi lainnya untuk memenangkan pemilihan. Kalau para kontestan masih memegang teguh nilai-nilai moral dan kesantunan politik yang mengutamakan keselamatan dan kemaslahatan rakyat, mungkin mereka akan saling mengingatkan, winning is not everything, kemenangan bukan segala-galanya. Tetapi tatkala orientasi konstestan adalah kekuasaan, maka prinsipnya winning is not everything, it’s the only thing, kemenangan bukan segala-galanya, melainkan satu-satunya! Disinilah bisa muncul para pengikut Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Muncullah black campaign, negative campaign, dan berbagai bahasa-bahasa kekerasan yang amat potensial memicu tindak kekerasan.
Salah satunya muncul justeru dari seorang profesor-doktor dan mantan ketua MPR, Amin Rais, yang menganalogikan kontestasi pilpres dengan Perang Badar. Ada tiga kekeliruan dalam pernyataan ini: membawa urusan agama dan akhirat kedalam politik praktis, mengkafirkan salah satu pasangan capres-cawapres dan menggunakan bahasa kekerasan (perang) yang amat provokatif. Para kontestan, timses dan jurkam mestinya menghindari penggunaan bahasa dan istilah-istilah kekerasan yang potensial memprovokasi khalayak kearah tindak kekerasan.
Etika Politik
Masa kampanye pilpres akan menjadi ujian, apakah kita memang layak menyebut diri sebagai bangsa yang religius, bersopan-santun, bermartabat dan berkeadaban. Peran positif para pemimpin/tokoh agama-agama dan para cendekiawan amat diharapkan untuk mencerahkan dan mendidik rakyat pemilih untuk memilih dengan 3N. Tidak hanya Naluri, melainkan terutama dengan Nalar dan Nurani. Amin Rais menjadi contoh memilih dengan naluri, ketika menganjurkan untuk memilih capres yang gagah dan kaya. Anis Baswedan menjadi contoh memilih dengan nurani ketika menganjurkan untuk memilih orang baik, jujur, sederhana. Ketiga-N adalah anugerah Sang Pencipta yang harus kita gunakan dengan penuh tanggungjawab. Namun yang membedakan manusia dari hewan adalah nalar dan nurani. Dalam rangka itulah penulis mengutip penegasan Paus Yohanes Paulus II “7 prinsip etika politik” yang sebenarnya dapat kita temukan dalam berbagai nilai-nilai budaya dan kerarifan lokal kita. Ketujuh prinsip itu adalah kebaikan hati, keberpihakan pada kehidupan, kesejahteraan umum, subsidiaritas, solidaritas, hak-hak azasi manusia, dan penolakan kekerasan. Ketujuh prinsip etis itu kita temukan juga dalam Pancasila sebagai panduan etik hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.(*)
Oleh;
Philips Tangdilintin
Sekretaris Dewan Pakar ISKA SulSel