Kelalaian Negara Memenuhi Hak Warga Difabel
Salah satu kendala utama bagi kelompok difabel adalah tidak terbukanya akses bagi mereka untuk bisa bekerja atau pun menuntut ilmu
Tribun Timur edisi 17 Oktober 2013 melaporkan aksi puluhan penyandang cacat di kantor Gubernur Sulawesi Selatan untuk menuntut hak-hak mereka dalam hal kesetaraan mendapatkan pekerjaan,khususnya penerimaan CPNS. Saya menganggap aksi mereka adalah sebuah agenda penting untuk kita seriusi dan sikapi. Kita cenderung lupa saudara-saudara kita ini karena tenggelam dalam hingar bingar isu-isu seperti dinasti politik, korupsi Mahkamah Konstitusi atau pun Bunda Putri.
Selama ini kita menganggap bahwa cacat adalah kutukan dan untuk itu tabu untuk kita bicarakan. Tapi perlu diingat bahwa mereka pun manusia dan bisa jadi kita yang saat ini memiliki fisik dan indra yang sempurna, namun ada kemungkinan menjadi bagian kelompok penyandang cacat karena berbagai sebab, sebagai misal, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau bencana alam. Sebagai bangsa yang beradab dan beragama, kelompok penyandang cacat perlu kita sama-sama bantu. Bukan untuk dikasihani tapi memberikan ruang dan kesempatan seperti halnya orang-orang lain dengan fisik yang sempurna. Apa lagi Indonesia telah meratifikasi konvensi hak-hak penyandang cacat yang disepakati oleh 146 negara di PBB pada tahun 2007. Ratifikasi ini tertuang dalam UU No 19 Tahun 2011 yang mengamanatkan pemerintah nasional dan daerah untuk menghormati, melindungi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas. Selain itu, sebelumnya sudah ditetapkan peraturan khusus mengenai penyandang cacat yaitu UU No. 4 Tahun 1997.
Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan kata difabel untuk merujuk ke kelompok masyarakat yang umumnya dikenal sebagai penyandang cacat. Meskipun dalam bahasa baku Indonesia digunakan kata ‘disabilitas’, sebagaimana termaktub di UU 19 Tahun 2011. Difabel adalah singkatan dari different ability atau orang yang memiliki kemampuan berbeda yang tidak mempengaruhi kualitasnya dibandingkan manusia lain dengan fungsi fisik yang lengkap.
Difabel Data
Untuk mengimplementasikan UU 19 Tahun 2011 dibutuhkan data penduduk difabel. Sensus penduduk BPS 2010 menunjukkan bahwa jumlah orang difabel di atas usia 10 tahun adalah 16.718 orang. Sumber lain dari Kementrian Sosial RI (2009) menyatakan bahwa jumlah total penduduk Indonesia yang difabel sebanyak 1.541.942 orang. Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2003, Sulawesi Selatan (Sul-Sel) memiliki penduduk difabel tertinggi di Indonesia bagian Timur yaitu 72.900 orang. Bahkan hasil Sensus 2010 masih menempatkan Sul-Sel sebagai provinsi yang memiliki penduduk difabel terbanyak untuk bagian Indonesia Timur.
Jika dilihat berdasarkan jenis kesulitan fungsionalnya berdasarkan data nasional, jumlah orang dengan kesulitan fungsional tubuh (tuna daksa) memiliki jumlah terbanyak kemudian diikuti dengan kelompok masyarakat dengan kesulitan fungsional penglihatan (tuna netra) (Susenas 2009). Data lain menginformasikan bahwa penyebab kecacatan terbesar adalah penyakit serta yang dibawa sejak lahir (Susenas 1998). Dengan data ini dapat diasumsikan bahwa faktor kesehatan ibu dan janin menjadi hal penting diperhatikan untuk mengurai jumlah difabel sejak lahir.
Kelalaian Negara
Salah satu kendala utama bagi kelompok difabel adalah tidak terbukanya akses bagi mereka untuk bisa bekerja atau pun menuntut ilmu. Kondisi ini membuat kelompok difabel menjadi sangat rentan dengan kemiskinan. Data survey ICF Kemensos 2009 menginformasikan bahwa 74% orang difabel tidak bekerja dan hanya 26% yang bekerja (Marjuki, 2010). Studi ini lebih lanjut mendata bahwa kelompok difabel yang bekerja mayoritas sebagai petani (39%), buruh (32%) dan jasa (15%). Sektor pekerjaan yang paling sedikit menyerap pekerja difabel adalah BUMN/BUMD (0,1%) dan PNS/Polri/TNI (1,3%). Data ini menunjukkan bahwa keberpihakan pemerintah untuk memberi peluang kerja bagi kelompok difabel memang belum terlihat jelas. Untuk data Sul-Sel, terdapat 26.711 penduduk difabel tidak bekerja atau sekitar 77% dari jumlah total warga difabel yang terdata.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan kelompok difabel adalah akses terhadap pendidikan. Survey ICF Kemensos di 14 provinsi (termasuk Sul-Sel) kembali menyajikan data mencengangkan. Hampir 60% dari anak difabel usia sekolah tidak mengecap bangku sekolah. Sementara bagi mereka yang beruntung bersekolah, sebagian besar dari mereka atau 75% anak difabel hanya menyelesaikan studinya di tingkat SD. Jika dikaji lagi lebih dalam, berdasarkan data Susenas 2006 dan data Kemensos (2006) maka hanya 12% anak difabel yang bersekolah di tingkat SD. Data lain yang menarik, berdasarkan data Depdiknas (2006/2007) terdapat sekitar 4.929 Sekolah Luar Biasa (SLB) swasta dan negeri pada jenjang TK sederajat sampai SMU sederajat dengan jumlah kelas (fisik) 28.914 ruangan. Penyebaran siswa terbagi 27% terdaftar di sekolah negeri dan 73% di sekolah swasta (Irwanto dkk, 2010). Data-data ini kembali menunjukkan lalainya negara dalam memenuhi hak-hak warga difabel khususnya di bidang pendidikan.
Afirmasi Sosial
Dalam UU No 19 Tahun 2011, tertulis bahwa hak penyandang disabilitas adalah “memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain”. Lebih lanjut dimaktubkan pula bahwa kewajiban negara adalah: “merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi”. Sudah cukup lama warga difabel menderita atas ketidakadilan dan ketidakberpihakan negara atas kondisinya. Saatnya sekarang untuk pemerintah memberikan akses seluas-luasnya bagi para warga difabel menempuh pendidikan dan mendapat pekerjaan sebagaimana warga negara lain. Keterangan sehat dari Puskesmas atau Rumah Sakit yang selama ini menjadi kendala utama bagi warga difabel untuk bersaing mendapatkan pekerjaan, khususnya CPNS, harus dihilangkan karena kebijakan ini sangat diskriminatif.
Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan berbagi pengalaman hidup di masyarakat yang sangat menghargai warga difabelnya. Di Belanda, setiap gedung memberikan akses untuk pengguna kursi roda. Semua trotoar mempunyai jalur khusus untuk tuna netra. Bahkan, saya pernah dilayani seorang tuna netra sebagai salah seorang staf di bagian administrasi kampus. Pegawai tersebut memberikan layanan yang cepat dan profesional tanpa dibantu siapa pun. Kualitas kerjanya tidak kalah dengan pegawai lain yang memiliki fisik yang sempurna.(*)
Oleh;
Andi Ahmad Yani
Pemerhati Difabel dan Pelajar Utrecht University, Belanda