Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

LSM Melapor, Guru Dipenjara, Presiden Mengampuni

Tulisan Rusdianto Sudirman menyorot polemik dua guru Luwu Utara: legalitas berjalan, keadilan tertinggal…

Rusdianto Sudirman/Tribun Timur
PENULIS OPINI - Rusdianto Sudirman. Ia mengirim foto pribadi ke tribun timur untuk melengkapi opininya berjudul LSM Melapor, Guru Dipenjara, Presiden Mengampuni. 

LSM Melapor, Guru Dipenjara, Presiden Mengampuni

Oleh: Rusdianto Sudirman

Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

 

Ringkasan Berita:
  • Tulisan Rusdianto Sudirman mengulas polemik pemecatan dua guru Luwu Utara. Gubernur Sulsel menjatuhkan sanksi sesuai aturan, namun Presiden Prabowo memberi sinyal rehabilitasi. 
  • Penulis menyoroti peran oknum LSM/wartawan gadungan yang menciptakan iklim ketakutan di sekolah. 
  • Ia menegaskan legalitas harus sejalan dengan keadilan, dan pendidikan butuh perlindungan dari intimidasi eksternal

 

 

TRIBUN-TIMUR.COM - POLEMIK pemecatan dua guru di Luwu Utara kembali membuka pertanyaan lama tentang bagaimana negara memperlakukan aparatur sipil ketika hukum dan rasa keadilan tidak berjalan beriringan.

Gubernur Sulawesi Selatan menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak hormat kepada dua guru yang sebelumnya dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Belakangan, Presiden Prabowo merespons dengan sikap yang dibaca publik sebagai langkah rehabilitasi.

Ketegangan pun muncul, bukan sekadar soal benar atau salah, tetapi soal bagaimana kekuasaan di pusat dan daerah memahami batas etik dan logika keadilan dalam pengelolaan aparatur negara.

Secara hukum administrasi kepegawaian, gubernur sulsel tidak menabrak aturan. 

Undang undang Aparatur Sipil Negara memberi ruang bagi pejabat pembina kepegawaian di daerah untuk menjatuhkan sanksi apabila ada putusan pidana yang telah menyatakan bersalah seorang ASN. 

Dari cara kerja birokrasi, tindakannya berada dalam jalur legal.

Namun, keabsahan hukum tidak selalu beriringan dengan kebijaksanaan moral. 

Dua guru itu dinilai sebagian pihak bukan pelaku korupsi yang memanfaatkan jabatan, melainkan pegawai yang berhadapan dengan sistem administratif pendidikan yang sering kali kabur dan serba darurat. Di titik ini, publik terbelah antara legalitas dan rasa keadilan.

Polemik pemecatan dua guru di Luwu Utara masih menjadi cermin buram hubungan antara hukum, politik, dan nurani dalam tata kelola aparatur sipil negara.

Dalam pusaran itu, muncul oknum yang mengaku LSM sekaligus memposisikan diri sebagai wartawan lapangan.

Dengan memakai legitimasi semu, mereka menyusuri sekolah dan kantor pemerintah untuk menyoroti potensi pelanggaran.

Namun alih alih memberi edukasi dan pengawasan, mereka kerap menggunakan pemberitaan sebagai alat tekanan.

Setiap kelalaian kecil, setiap dokumen yang belum lengkap, dan setiap upaya darurat demi keberlangsungan sekolah dapat berubah menjadi headline yang dibingkai negatif.

Hal ini menciptakan iklim tidak sehat, di mana guru, kepala sekolah, dan birokrat bekerja bukan untuk melayani, tetapi untuk menghindari jebakan pemberitaan.

Akan tetapi sebagaimana kerap terjadi dalam dunia pendidikan, realitas di lapangan tidak sesederhana teks undang undang.

Banyak keputusan administratif di sekolah diambil dalam situasi kabur dan serba darurat. 

Dua guru di luwu utara, dalam pandangan sebagian masyarakat, bukan penjahat publik, melainkan sosok yang terjerat karena upaya membantu operasional sekolah yang seharusnya mendapat dukungan, bukan hukuman.

Namun yang memperkeruh suasana adalah oknum yang mengaku LSM dan sekaligus wartawan yang gemar memburu kesalahan kepala sekolah dan guru.

Dengan kombinasi otoritas moral palsu dan akses pemberitaan yang tidak terkontrol, mereka sering datang bukan untuk mengawasi, tetapi untuk mencari celah.

Setiap kelalaian administratif, setiap penggunaan dana yang belum sempat dirampungkan laporannya, setiap keputusan darurat demi kelangsungan kegiatan pendidikan, dapat berubah menjadi alat tekanan.

Di tangan mereka, cerita tentang usaha memperbaiki sekolah akan terpotong, diganti oleh narasi tentang pelanggaran dan penyimpangan.

Fenomena ini menciptakan iklim ketakutan. 

Guru dan kepala sekolah tidak lagi bekerja untuk kemajuan murid, tetapi sibuk menghindari jebakan pemberitaan.

Ketika tekanan semacam ini berkembang, pejabat daerah pun sering merasa terpaksa bergerak cepat dengan sanksi keras untuk menunjukkan ketegasan, meski konteks yang lebih luas luput dari pertimbangan.

Maka lahirlah keputusan administratif yang secara hukum benar, tetapi secara moral dipertanyakan.

Yang tampak di permukaan adalah pelanggaran, tetapi yang hilang dari panggung publik adalah niat tulus untuk membangun sekolah.

Di titik inilah langkah Presiden memberi warna berbeda. Rehabilitasi yang beliau isyaratkan tidak hanya soal mengembalikan martabat dua guru, tetapi juga pesan kepada publik bahwa kebijakan negara tidak semestinya tunduk pada tekanan moral palsu dari kelompok pengawas informal (baca: oknum LSM dan Wartawan Gadungan).

Presiden seolah mengingatkan bahwa negara harus membedakan antara kesalahan yang lahir dari niat jahat dan keputusan yang lahir dari situasi serba terbatas. Namun, sebagaimana sifat relasi pusat dan daerah, gerakan politik moral itu hanya akan bermakna apabila diikuti langkah administratif yang konkret pada tingkat birokrasi.

Polemik ini mendesak kita untuk menata ulang tata kelola pendidikan. Kepala sekolah dan guru membutuhkan perlindungan dari tekanan eksternal yang tidak memiliki legitimasi publik.

Pengawasan terhadap sekolah memang penting, tetapi harus berada di tangan lembaga resmi yang bekerja dengan prosedur dan akuntabilitas.

Selama pengawasan dijalankan oleh aktor yang tidak jelas mandatnya, keputusan sekolah akan selalu dianggap mencurigakan.

Padahal pendidikan membutuhkan ruang keberanian dan kreativitas, bukan rasa takut dan ancaman setiap saat.

Ada pelajaran penting dari kisah dua guru ini. Bahwa legalitas tidak boleh berdiri sendiri tanpa keadilan.

Bahwa otonomi daerah harus berjalan seiring dengan empati terhadap pelaksana kebijakan di lapangan.

Dan bahwa pengawasan publik harus diletakkan kembali pada relnya, bukan dijadikan alat intimidasi yang justru merusak sendi pendidikan.

Negara seharusnya dapat memisahkan mana pelanggaran yang patut dihukum, dan mana tindakan yang layak dimaklumi karena diambil demi menyelamatkan sekolah dari stagnasi.

Jika rehabilitasi yang disampaikan Presiden benar diarahkan untuk memulihkan martabat guru sekaligus memperbaiki sistem, maka saat itulah momen yang tepat untuk menata ulang hubungan antara pengawasan, pendidikan, dan rasa keadilan.

Untuk itu, menurut penulis negara perlu merumuskan beberapa langkah perbaikan. Pertama, pemerintah daerah dan pusat harus mengatur ulang akses ke sekolah dan kantor pemerintahan agar tidak semua pihak dapat masuk dan melakukan wawancara atau pemeriksaan tanpa izin resmi.

Identitas wartawan harus diverifikasi oleh organisasi pers yang memiliki legalitas jelas, sementara LSM yang ingin melakukan pengawasan harus melalui mekanisme pelaporan dan koordinasi dengan instansi terkait.

Kedua, lembaga pers dan dinas komunikasi dan informasi harus membuka kanal pengaduan untuk aparat pendidikan dan pegawai publik yang merasa diintimidasi oleh aktor yang mengaku pers atau aktivis.

Ketiga, pemerintah perlu memberikan edukasi publik tentang perbedaan antara jurnalisme profesional dan praktik pemerasan berkedok liputan, agar masyarakat tidak mudah terprovokasi.

Negara juga perlu menegaskan bahwa pengawasan publik adalah hak demokratis, tetapi harus berjalan dalam rambu rambu formal agar tidak berubah menjadi intimidasi.

Pengawasan tanpa akuntabilitas tidak melahirkan transparansi, melainkan kekacauan. 

Guru dan kepala sekolah membutuhkan ruang aman untuk bekerja, bukan ruang yang penuh ancaman.

Sebab pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan aparat pendidikan yang tunduk pada ketakutan, tetapi pendidik yang berani mengambil keputusan demi masa depan murid. Dan negara berkewajiban memastikan bahwa keberanian itu tidak berubah menjadi petaka birokratis.

Kasus dua guru Luwu Utara menjadi pengingat bahwa negara harus hadir bukan hanya sebagai penegak aturan, tetapi juga sebagai pelindung bagi aparatur yang bekerja dengan niat baik.

Pendidikan tidak boleh dibiarkan tunduk pada tekanan kelompok pengawas yang bekerja tanpa aturan.

Jika rehabilitasi yang dilakukan Presiden ingin memiliki makna jangka panjang, maka inilah saatnya menata ulang hubungan negara, publik, dan pengawasan informal.

Pendidikan membutuhkan keberanian dan ketulusan, dan negara wajib menjaganya dari gangguan pihak-pihak yang menjadikan kesalahan sebagai komoditas. (*)

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved