Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Paradigma Baru Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati. Berbagai sumber daya alam hayati tersebar di seluruh wilayah Indonesia

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
PENULIS OPINI - Pemerhati hukum, Lutfie Natsir, SH. MH, CLa. Dia menulis opini tentang Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. 
Ringkasan Berita:Indonesia kaya sumber daya hayati yang menopang pembangunan nasional, terutama lewat sektor pertanian dan perikanan.
 
Untuk mencegah ancaman penyakit dan organisme pengganggu, pemerintah memperkuat sistem karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
 
Badan Karantina Indonesia menerapkan tiga pilar utama—penguatan SDM, digitalisasi layanan, dan revitalisasi laboratorium—guna menjaga keamanan pangan serta kelestarian sumber daya alam.

 

Lutfie Natsir, SH. MH, CLa

Pemerhati Hukum

INDONESIA merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati.

Berbagai sumber daya alam hayati tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik di daratan maupun lautan, sehingga sering kali Indonesia disebut negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar.

Di sisi lain, kekayaan sumber daya alam tersebut juga menjadi modal penting bagi pembangunan nasional, yaitu untuk (1) memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan energi, serta (2) meningkatkan taraf hidup, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam hayati dilakukan melalui sistem pertanian dan perikanan.

Meskipun Indonesia mengalami transformasi struktural, sektor pertanian dan perikanan tetap menjadi sektor strategis dan terbukti tangguh saat krisis ekonomi.

Dampak pengganda pembangunan sektor ini tidak hanya terkait dengan ketahanan atau kedaulatan pangan, tetapi juga penyerapan tenaga kerja, perkembangan industri, dan peningkatan devisa negara.

Pembangunan sektor pertanian dan perikanan bertujuan meningkatkan produksi, memperluas penganekaragaman hasil untuk memenuhi kebutuhan pangan dan industri domestik, meningkatkan ekspor, pendapatan, dan taraf hidup petani serta nelayan, mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, serta mendukung pembangunan daerah.

Pembangunan tersebut juga berorientasi pada pelestarian sumber daya alam hayati yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Dalam pelaksanaan tujuan tersebut terdapat berbagai hambatan dan ancaman. Salah satu ancaman terbesar adalah penyakit pada hewan dan ikan serta organisme pengganggu tumbuhan, baik yang belum maupun yang sudah ada di Indonesia.

Pemerintah harus mampu melakukan pencegahan sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Perkembangan lingkungan strategis yang cepat dan dinamis dalam beberapa tahun terakhir berdampak signifikan pada penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.

Laju perdagangan antarnegara membawa dampak positif berupa peningkatan devisa, perluasan pasar, serta transfer teknologi dan ilmu pengetahuan.

Namun, aktivitas tersebut juga berisiko menyebarkan hama dan penyakit hewan, ikan, dan tumbuhan yang dapat menurunkan produktivitas dan mengancam kesehatan manusia.

Peran karantina dalam era globalisasi perdagangan menjadi krusial dan strategis.

Paradigmanya berubah dari agen pasif menjadi agen aktif seiring pergeseran kebijakan perdagangan menuju Non-Tariff Barrier (NTB).

Aturan ini diatur melalui Agreement on Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures di bawah World Trade Organization (WTO) agar pengelolaan karantina berjalan efektif dan efisien berdasarkan prinsip ilmiah.

Kesepakatan tersebut menegaskan hak setiap negara untuk melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.

Isu keamanan pangan diatur oleh Codex Alimentarius Commission (CAC), kesehatan hewan oleh World Organization for Animal Health (WOAH), dan hama penyakit tumbuhan oleh International Plant Protection Convention (IPPC) 1997.

Standar ini menjadi dasar tindakan preventif dan kuratif untuk mengontrol lalu lintas komoditas, produk, dan bahan pangan dari ancaman organisme pengganggu (virus, bakteri, cendawan, parasit, gulma) maupun residu (antibiotik, logam berat, pestisida, bahan kimia).

Sebagai agen aktif, karantina juga memperluas fungsi perlindungan sumber daya hayati dari cemaran organisme hasil rekayasa genetik, keberadaan invasive alien species (IAS), pengawasan tumbuhan dan satwa liar, serta pengendalian keamanan dan mutu pangan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2023 sebagai turunan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019, karantina hewan, ikan, dan tumbuhan diartikan sebagai sistem pencegahan masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit karantina serta pengawasan terhadap keamanan dan mutu pangan, pakan, produk rekayasa genetik, sumber daya genetik, agensia hayati, jenis asing invasif, dan tumbuhan maupun satwa liar di seluruh wilayah NKRI.

Badan Karantina Indonesia, dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2023, memiliki tiga pilar utama:

  1. Penguatan sumber daya manusia, melalui peningkatan keahlian dan kerja sama pendidikan, pelatihan, serta kolaborasi dengan negara mitra dan perguruan tinggi.
  2. Layanan digitalisasi, dengan pengembangan sistem informasi karantina terintegrasi antar-kementerian, lembaga, dan negara mitra, serta pemanfaatan big data dan infrastruktur teknologi.
  3. Revitalisasi laboratorium, dengan membangun laboratorium pusat (BBUSKHIT), enam laboratorium kawasan, dan laboratorium unit pelaksana teknis di 32 provinsi sebagai laboratorium rujukan nasional.

Pelayanan karantina di pintu masuk dan keluar (border) serta di luar border menerapkan sistem Pre Border (informasi dari negara asal), At Border (verifikasi dan pemeriksaan barang), dan Post Border (monitoring, pemeriksaan, dan pertukaran data antarotoritas).

Dengan pelaksanaan ketiga pilar tersebut, fungsi karantina semakin optimal, ditandai dengan peningkatan kompetensi pejabat, efisiensi pelayanan sesuai Service Level Agreement (SLA), serta efektivitas pencegahan penyebaran penyakit HPHK, HPIK, dan OPTK, termasuk pengawasan mutu pangan dan pakan.

Demikian disampaikan, semoga menjadi amal ibadah di sisi Allah SWT.

Jazakallahu khairan, wallahu a’lam bishawab.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved