Opini
Menutup Celah Mafia Tanah: BPN Harus Jadi Pelindung, Bukan Pintu Masuk
ISU mafia tanah kembali menyeruak ke ruang publik, menunjukkan bahwa persoalan ini belum benar-benar tertangani secara tuntas.
Menutup Celah Mafia Tanah: BPN Harus Jadi Pelindung, Bukan Pintu Masuk
Oleh: Abrar Saleng Guru Besar Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam Universitas Hasanuddin.
ISU mafia tanah kembali menyeruak ke ruang publik, menunjukkan bahwa persoalan ini belum benar-benar tertangani secara tuntas.
Tanah yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan dan identitas sosial, justru kerap berubah menjadi sumber konflik, ketidakpastian hukum, dan ketidakadilan.
Fenomena ini menandakan bahwa praktik mafia tanah bukan sekadar kejahatan administratif, melainkan bentuk lain dari mafia hukum yang beroperasi dalam sistem pertanahan.
Hakikat mafia tanah adalah penyalahgunaan kewenangan dan informasi dalam birokrasi hukum pertanahan.
Di dalamnya terjadi kolaborasi antara pihak yang memiliki akses terhadap data, dengan pihak luar yang memiliki kepentingan ekonomi.
Informasi menjadi komoditas baru yang dapat diperdagangkan, dimanipulasi, dan dijadikan alat untuk menguasai hak orang lain secara “legal formal”.
Ketika informasi menjadi barang dagangan, maka keadilan pun ikut tergadai.
Mafia Hukum Berwajah Tanah
Mafia adalah sindikat yang terorganisir, sistimatis, bekerjanya secara terencana, berjenjang dan terukur.
Mafia tanah sesungguhnya tidak lahir di ruang kosong. Ia tumbuh di tengah sistem administrasi yang belum sepenuhnya transparan, serta lemahnya integritas dan pengawasan.
Pola kejahatannya mirip dengan bentuk-bentuk mafia lain seperti mafia pajak, mafia tambang, atau mafia penerimaan pegawai negeri sipil di mana sumber utamanya adalah kebocoran informasi dari orang dalam.
Dalam konteks pertanahan, informasi tentang status, batas, dan proses pendaftaran tanah menjadi senjata utama untuk menguasai aset secara tidak sah.
Akibatnya, masyarakat kehilangan kepastian hukum, sementara negara kehilangan legitimasi moral dalam melindungi hak-hak rakyatnya.
Ada tiga akar persoalan yang membuat mafia tanah terus bertahan.
Pertama, sistem administrasi yang belum sepenuhnya digital, terbuka, dan sinkron antarlembaga.
Tumpang tindih antara data BPN, pemerintah daerah, dan kementerian lain menciptakan ruang abu-abu yang mudah disusupi manipulasi.
Kedua, kolusi birokrasi. dalam banyak kasus, mafia tanah tidak bekerja sendiri.
Ia berjejaring dengan oknum pejabat, aparat desa, atau pihak yang berwenang mengeluarkan dokumen pertanahan.
Dalam jaringan semacam ini, hukum sering berhenti di pelaku teknis, sementara aktor intelektual tetap bersembunyi di balik prosedur administratif.
Ketiga, lemahnya perlindungan terhadap masyarakat. Korban mafia tanah sering tidak memiliki kapasitas hukum untuk mempertahankan haknya.
Padahal, prinsip negara hukum menuntut kehadiran negara dalam melindungi yang lemah dari penyalahgunaan kekuasaan.
Reformasi Pertanahan Belum Tuntas
Pemerintah telah menggalakkan berbagai program seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), digitalisasi arsip, dan sistem layanan elektronik.
Namun, reformasi sistem tidak akan bermakna tanpa reformasi manusia di dalam sistem itu sendiri.
Teknologi memang bisa mempercepat pelayanan, tetapi tidak otomatis meniadakan moral hazard.
Bahkan Teknologi informasi bisa menjadi alat kecurangan baru, ketika dijalankan oleh manusia yang tidak berintegiras,.
Mafia tanah bertahan karena persekongkolan antara aktor internal dan eksternal, yang menjadikan hukum formal hanya alat legitimasi bagi praktik curang.
Akibatnya, banyak warga kecil, petani, hingga pemilik sah tanah justru kehilangan hak karena tidak memiliki kekuatan menghadapi jaringan yang menguasai dokumen dan akses informasi.
Dalam banyak kasus, hukum justru datang terlambat, setelah korban kehilangan hak dan tanahnya berpindah tangan melalui proses legal formal yang telah direkayasa.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya fungsi perlindungan hukum preventif, yang seharusnya menjadi tugas utama BPN dan sistem peradilan agraria.
BPN sebagai Filter dan Pelindung
Sudah saatnya BPN melakukan reorientasi peran, dari lembaga administratif menjadi lembaga pelindung hak masyarakat atas tanah.
BPN tidak cukup hanya menjadi pelayan publik, tetapi harus menjadi penegak moral dan hukum pertanahan.
Untuk itu, setidaknya ada tiga langkah penting yang perlu dilakukan.
Pertama, penguatan sistem pengawasan internal dan mekanisme whistleblower yang efektif.
Setiap indikasi pelanggaran administrasi harus segera ditangani sebelum berkembang menjadi mafia.
Perlindungan bagi pelapor internal juga harus dijamin agar keberanian melawan penyimpangan tidak berujung pada pembalasan.
Kedua, penerapan sistem keterbukaan informasi publik pertanahan yang dapat diakses oleh masyarakat secara legal dan terukur.
Transparansi bukan ancaman, justru menjadi cara terbaik untuk menghilangkan ruang gelap tempat mafia bertumbuh.
Ketiga, kolaborasi lintas lembaga antara BPN, Kejaksaan, Kepolisian, KPK, dan pemerintah daerah.
Mafia tanah bukan hanya pelanggaran administrasi, melainkan kejahatan terorganisasi yang merusak sendi keadilan dan kepercayaan publik.
Tanpa sinergi penegakan hukum, mafia akan terus menemukan celah baru dalam sistem yang lemah.
BPN, sebagai institusi yang diberi mandat untuk menata, mengatur, dan mengamankan administrasi pertanahan, harus memastikan bahwa keadilan agraria bukan slogan, melainkan kenyataan hukum yang hidup.
Keadilan itu hanya bisa terwujud apabila BPN benar-benar menjadi pelindung terakhir rakyat dari kesewenang-wenangan hukum, bukan pintu masuk bagi mafia tanah.
Tanah bukan sekadar benda ekonomi, tanah adalah ruang hidup dan identitas sosial masyarakat.
Ketika tanah dirampas melalui mekanisme hukum yang diselewengkan, sesungguhnya negara sedang gagal menjalankan mandat konstitusionalnya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Abrar-Saleng-Guru-Besar-Hukum-Agraria-dan-Sda-Unhas.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.