Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Mendayung Di antara Tiga Karang

Ia berbicara tentang solidaritas, keadilan, dan perlunya organisasi supranasional seperti PBB yang kuat.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Arief Wicaksono Dosen Fisip Pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Bosowa. Arief Wicaksono adalah penulis opini Tribun Timur. 

Oleh : Arief Wicaksono

Pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Bosowa

TRIBUN-TIMUR.COM - Mengamati dan mencermati pidato Presiden Prabowo Subianto di hadapan majelis Umum PBB baru-baru ini, saya jadi  teringat pada masa Wakil Presiden Muhammad Hatta menyampaikan pidatonya yang berjudul "Mendayung Diantara Dua Karang" di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), pada 2 September 1948. 

Hatta mengungkap pertanyaan-pertanyaan yang begitu jernih namun lugas, Tetapi mestikah bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika?

Apakah tak ada pendirian yang lain harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Ungkapan inilah yang dikemudian hari menjadi landasan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif Pemerintah Republik Indonesia, hingga saat ini.

Kembali ke New York pada Senin, 22 September 2025, pidato perdana Presiden Prabowo di hadapan Majelis Umum PBB terdengar penuh dengan ambisi.

Ia berbicara tentang solidaritas, keadilan, dan perlunya organisasi supranasional seperti PBB yang kuat.

Ia menjanjikan ketahanan pangan untuk dunia, target nol emisi, hingga kesiapan mengirim 20.000 pasukan perdamaian Indonesia ke berbagai titik konflik.

Menurut saya, pidato itu adalah pidato yang jelas dirancang untuk menempatkan Indonesia di pusat panggung politik internasional, tidak hanya dengan kerasnya kekuatan, tetapi juga dengan soft power.

Di balik retorika, pidato Prabowo memperlihatkan bagaimana realitas diplomasi Indonesia yang berupaya untuk terus menjaga keseimbangan diantara kekuatan dunia saat ini.

Nilai-nilai yang disampaikan Prabowo dekat dengan prinsip, nilai, dan narasi besar BRICS, sebuah organisasi antar-pemerintah yang beranggotakan beberapa leading emerging economies, yaitu Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Uni Arab Emirat, dan Indonesia. yaitu multipolaritas, anti-hegemoni, solidaritas Global South.

Tetapi pada saat yang sama, ia menegaskan dukungan penuh pada PBB, lembaga yang sering dianggap lebih mewakili kepentingan Barat.

Meski Prabowo tidak menyebut BRICS secara langsung, penekanan pada kesetaraan, solidaritas melawan apartheid, dan keadilan global sangat beririsan dengan agenda BRICS.

Bagi kelompok itu, Indonesia adalah kekuatan alami Asia Tenggara, kandidat potensial untuk memperluas pengaruh mereka.

Tetapi dengan menegaskan kepercayaan pada PBB dan multilateralisme, sepertinya Jakarta ingin menunjukkan sinyal, bahwa Indonesia belum siap melepaskan diri dari tatanan yang dibangun Barat.

Strategi yang biasa disebut hedging ini sejalan dengan tradisi politik luar negeri bebas aktif Indonesia, ketimbang sekedar balancing, apalagi bandwagoning.

Kepentingan Nasional dalam Balutan Global

Pada dasarnya, pidato ini adalah perpanjangan dari kepentingan nasional Indonesia. Klaim sebagai “lumbung pangan dunia” bukan sekadar kemurahan hati, tetapi strategi memperluas pengaruh diplomasi dan pasar.

Komitmen iklim yang  diletakkan dalam kerangka masalah domestik, tentang ancaman naiknya permukaan laut di Jakarta, namun diproyeksikan sebagai kepemimpinan moral global.

Sementara isu Palestina memperkuat posisi Indonesia sebagai suara moral dunia Islam, tetapi tetap dengan catatan mendukung keamanan Israel.

Di sinilah paradoks muncul. Meskipun Prabowo menolak logika kekuasaan  Thucydides, namun realitas politik internasional tetap beroperasi dalam kerangka yang digambarkan oleh Mearsheimer dalam The Tragedy of Great Power Politics.

Di mana dunia politik internasional saat ini, dianggap sebagai sebuah arena yang keras, namun janji moral sering dikalahkan oleh berbagai kalkulasi kekuatan politik.

Ambisi menawarkan 20.000 pasukan perdamaian terdengar mengesankan, tetapi kapasitas militer Indonesia masih terbatas.

Postur pertahanan-keamanan Indonesi masing malu-malu kucing. Obral informasi tentang swasembada beras dan transisi energi bisa dianggap sebagai retorika kosong jika kebijakan domestik tidak konsisten.

Dalam politik internasional, kredibilitas adalah mata uang yang utama, dan Indonesia bisa kehilangan nilai, jika kata-kata melampaui tindakan.

Namun demikian, manfaat politik pidato Prabowo cukup jelas. Di mata Global South, Indonesia tampil kredibel sebagai negara yang mengerti makna penindasan, karena pernah mengalami kolonialisme.

Di mata Barat, Jakarta menawarkan kerja sama dalam kerangka PBB sekaligus menjanjikan stabilitas rantai pasok global.

Bagi BRICS, Indonesia tampak selaras secara ideologis meski belum sepenuhnya bergabung. Strategi tiga arah ini memperkuat posisi Indonesia sebagai middle power yang layak  diperhitungkan.

Dengan narasi sejarah penderitaan kolonial dan ambisi pangan, Indonesia berupaya membentuk persepsi dunia bahwa ia bukan sekadar negara berkembang, melainkan aktor global yang layak dihormati.

Middle Power dengan Mimpi Global

Pidato Prabowo di PBB menunjukkan keinginan Indonesia untuk melampaui peran regionalnya dan tampil sebagai penggagas norma global, dimana negara yang mendorong diskursus tentang keadilan, pangan, iklim, dan perdamaian.

Namun, keberhasilan ambisi ini tidak hanya bergantung pada retorika di New York, melainkan pada konsistensi pelaksanaan di Jakarta.

Seperti diingatkan Mearsheimer, anarki dalam sistem internasional, mengharuskan negara-negara mencari dominasi dengan mengorbankan satu sama lain, yang menyebabkan negara-negara yang cinta damai sekalipun, dapat terjerumus dalam perebutan kekuasaan yang tiada henti.

Pertanyaannya: apakah dunia akan percaya dan memberi ruang, atau justru menilai Indonesia hanya sebagai aktor dengan retorika tinggi tanpa implementasi nyata?

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved