Opini
'Purbaya Effect' Angin Segar yang Tetap Harus Diawasi
Bayangkan saja sektor perbankan digelontor dana segar Rp200 triliun. Bank tentu tak bisa membiarkan uang itu nganggur.
Oleh: Romy Nugraha
Dosen FEB Universitas Ichsan Sidenreng Rappang
TRIBUN-TIMUR.COM - Sejak Purbaya Yudhi Sadewa resmi duduk di kursi Menteri Keuangan, publik langsung menaruh harapan baru.
Bukan cuma karena ia datang dengan gebrakan Rp200 triliun yang diguyurkan ke perbankan, tapi juga karena gayanya yang sederhana, lugas, dan penuh rasa percaya diri.
Langkahnya membuat istilah baru bermunculan: Purbaya Effect. Sebuah efek kebijakan yang sederhana secara teori, tapi bisa berdampak cepat dalam napas perekonomian.
Bayangkan saja sektor perbankan digelontor dana segar Rp200 triliun. Bank tentu tak bisa membiarkan uang itu nganggur.
Mereka harus menyalurkannya ke kredit. Karena likuiditas berlimpah, bunga bank akan cenderung turun, dan pastinya akan muncul kompetisi bunga antar bank.
Skenarionya bunga kredit jadi lebih murah, program kredit dari sektor perbankan akan bermunculan, dan pelaku usaha di sektor formal berani bergerak lagi.
Dengan bunga yang tidak mencekik, mereka akan lebih percaya diri belanja dan ekspansi.
Di sinilah efek domino akan bekerja. Saat sektor formal kuat, demand naik. Kalau demand tumbuh, otomatis supply mengikuti.
Perusahaan makin laris, usaha makin berkembang, dan yang lebih penting lapangan kerja tercipta.
Singkatnya supply dan demand saling menghidupkan, dan ekonomi bergerak lebih segar.
Tapi Purbaya Effect tidak berhenti di situ. Ada satu poin penting lagi yakni percepatan akselerasi anggaran. Intinya, uang negara jangan dibiarkan tidur terlalu lama di satu program.
Kalau ada anggaran nganggur, langsung ditarik dan dialihkan ke sektor lain. Bahkan untuk program nasional sekelas MBG, Pak Purbaya menegaskan hal sama uang harus berputar cepat.
Semua ini jelas angin segar bagi perekonomian. Namun, ada catatan penting yang tak boleh diabaikan kemenkeu yang baru yakni pengawasan.
Kementerian Keuangan hanya berperan sebagai bendahara Negara kan hanya mengatur sebaran anggaran dan jumlahnya.
Pelaksanaan teknis tetap ada di kementerian atau lembaga terkait. Kalau mereka hanya mengejar serapan anggaran tanpa mempertimbangkan kualitas belanja kan bisa runyam.
Contohnya, percepatan proyek bisa rawan penunjukan langsung, nepotisme, bahkan korupsi. Itu bukan percepatan yang sehat.
Hal yang sama berlaku di bank-bank Himbara. Dana Rp200 triliun bukan jumlah kecil. Penyaluran yang sembarangan bisa berujung kredit fiktif atau salah sasaran. Alih-alih
menggerakkan ekonomi riil, justru bisa jadi bumerang.
Nah disinilah tantangan besar Purbaya Effect. Di satu sisi, publik tentu senang melihat gaya baru yang lebih agresif, berbeda dengan model kehati-hatian ala menteri sebelumnya.
Tapi disisi lain agresivitas tanpa kontrol bisa berakhir pada gelembung ekonomi, inflasi yang melonjak atau sekadar uang yang berputar di lingkaran elit tanpa pernah menyentuh rakyat kecil.
Pertanyaan kritisnya adalah siapa yang benar-benar akan menikmati Rp200 triliun ini? Kita juga harus realistis bahwa bank tidak selalu netral.
Mereka bisa saja lebih suka menyalurkan kredit ke kelompok besar yang dianggap aman ketimbang ke UMKM yang sebenarnya menjadi tulang punggung perekonomian.
Kalau begitu kan kebijakan kemenkeu yang baru ini atau Purbaya Effect hanya akan jadi efek “top-down” yang menguntungkan pemain lama, sementara pelaku usaha kecil tetap pontang-panting mencari modal.
Selain itu, percepatan serapan anggaran seringkali justru jadi jebakan klasik. Ketika kecepatan lebih diutamakan daripada kualitas, proyek-proyek bisa dikebut tanpa kajian matang.
Jalan pintas seperti penunjukan langsung jadi godaan. Kalau pengawasan lemah, jangan kaget bila efek segar tadi berubah jadi efek samping: korupsi makin subur.
Jadi Purbaya Effect ini memang memberi harapan besar. Teori yang sederhana, tapi jika dijalankan dengan disiplin, dampaknya bisa langsung terasa seperti kredit murah, konsumsi naik, produksi bergerak, lapangan kerja terbuka.
Namun, semua itu akan benar-benar menjadi angin segar hanya jika diikuti pengawasan ketat dan belanja anggaran yang berkualitas. Tanpa itu yang segar akan bisa cepat basi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.