Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Driver Ojol Rela Potongan 20 Persen Demi Promo dan Insentif

Survei ungkap mayoritas driver ojek online pilih potongan 20 persen asal order stabil dan insentif terjamin.

Meta AI
OJEK ONLINE – Ilustrasi odol by Meta AI. Survei ungkap mayoritas driver ojek online pilih potongan 20 persen asal order stabil dan insentif terjamin. Ekosistem adil jadi kunci keberlanjutan industri. 

TRIBUN-TIMUR.COM – Industri digital Indonesia kini penopang utama perekonomian nasional.

Pemerintah memproyeksikan nilai ekonomi digital akan tumbuh empat kali lipat dalam lima tahun ke depan.

Nilainya mencapai USD210–360 miliar atau sekitar Rp5.800 triliun.

Faktor pendorongnya antara lain populasi besar, penetrasi internet masif, dukungan regulasi, dan lahirnya startup lokal berstatus unicorn.

Penelitian Prasasti menunjukkan sektor digital lebih efisien dibanding sektor lain karena memiliki Incremental Capital Output Ratio (ICOR) lebih rendah.

Salah satu tulang punggung ekonomi digital adalah layanan on-demand: ojek online, taksi online, dan kurir online.

Ekosistem ini menghubungkan pengemudi dengan konsumen serta jutaan UMKM.

Pada 2023, kontribusi ride hailing terhadap PDB mencapai Rp382,62 triliun (2 persen PDB), sekaligus menyerap tenaga kerja di tengah badai PHK sektor manufaktur.

Seiring pertumbuhan sektor ini, polemik soal besaran komisi aplikator terhadap driver mencuat. Pemerintah menetapkan batas maksimum komisi 20 persen, dengan kewajiban 5 persen dialokasikan untuk program kesejahteraan driver.

Namun, sebagian driver menilai kebijakan aplikator belum sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan mereka.

Klaim yang muncul menyebut sistem komisi bersifat eksploitatif.

Apakah benar demikian?

Ekonom Senior Prasasti, Piter Abdullah Redjalam, menilai penting memahami aspirasi driver aktif secara langsung.

Ia merujuk dua survei terbaru dari Tenggara Strategics dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI).

Survei Tenggara dilakukan September 2025 terhadap 1.052 driver aktif di Jabodetabek.

Hasilnya, 82 persen driver memilih potongan komisi 20 persen dengan order tinggi, dibanding potongan 10 perden dengan order sepi.

Sebanyak 85 p ersendriver yang pernah mencoba platform dengan potongan 10 persen menyatakan penghasilan sama atau lebih rendah.

Terkait status kemitraan, 85 persen driver tidak keberatan disebut mitra.

Mereka mengutamakan fleksibilitas jam kerja dan memahami status pekerja justru bisa merugikan.

“Bagi driver di wilayah metropolitan, kepastian order dan perlindungan tambahan lebih penting daripada sekadar besaran potongan. Potongan rendah tanpa jaminan order tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan,” kata Piter.

Survei Paramadina di enam kota besar dengan 1.623 responden menunjukkan hasil serupa.

Sebanyak 60,8 persen driver memilih potongan 20 persen dengan insentif dan promo dibanding potongan 10 persen tanpa insentif.

Sebanyak 81 persen ebih mengutamakan stabilitas pendapatan harian daripada margin per order.

Driver memahami potongan 20 persen akan kembali dalam bentuk promo, diskon servis, paket data, atau sembako.

Promo pelanggan dianggap penting menjaga kontinuitas order, terutama bagi driver full time.

Survei juga menunjukkan masih ada kelompok driver yang belum memahami alokasi komisi, sehingga memunculkan narasi tidak berimbang soal eksploitasi.

“Isu utamanya bukan sekadar angka potongan, tapi bagaimana komisi dikelola dan dikembalikan dalam bentuk manfaat nyata. Keadilan terletak pada kualitas ekosistem, bukan persentase,” ujar Piter.

Di sisi lain, aplikator menghadapi tekanan biaya teknologi, operasional tinggi, persaingan antar platform, dan ekspektasi konsumen terhadap harga terjangkau.

Keberlanjutan bisnis bergantung pada keseimbangan antara investasi, subsidi, dan profitabilitas jangka panjang.

Piter menekankan pentingnya regulasi pemerintah menjaga keseimbangan antara aplikator, driver, dan konsumen.

Namun, aturan yang terlalu kaku bisa menghambat inovasi.

“Jika negara terlalu jauh mengatur besaran komisi atau model usaha, ruang inovasi bisa terhambat. Padahal fleksibilitas dibutuhkan untuk merespons perubahan pasar digital,” katanya.

Aturan berlebihan juga bisa berdampak negatif bagi driver dan konsumen.

Tanpa ruang bagi aplikator berinvestasi dalam teknologi, promo, dan insentif, ekosistem transportasi daring bisa kehilangan daya saing.

Industri digital adalah pilar ekonomi masa depan. Ride hailing berkontribusi pada PDB dan penyerapan tenaga kerja, serta memberi akses pendapatan bagi jutaan mitra driver.

Dua survei tersebut menegaskan bahwa driver tidak sekadar menuntut potongan rendah, melainkan ekosistem yang stabil, adil, dan transparan.

Mereka rela berbagi 20 persen  selama aplikator memberi order stabil, promo efektif, dan perlindungan nyata.

“Titik temu bisa dibangun: aplikator menjaga transparansi dan manfaat, pemerintah mengawal regulasi adil, dan driver memahami posisi mereka sebagai mitra mandiri. Jika jalan tengah ini dijalankan, industri digital Indonesia akan tumbuh berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan,” pungkasnya. (*)

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved