Umrah Mandiri
Alasan AMPHURI dan 12 Asosiasi Gugat Keputusan Umrah Mandiri ke MK
AMPHURI bersama 12 asosiasi lain, kata Zaki, terus berusaha menjaga ekosistem umrah dan haji yang berbasis keumatan.
TRIBUN-TIMUR.COM - Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) dan 12 asosiasi lain bakal gugat penyelenggaraan umrah mandiri.
Umrah mandiri kini diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Gugatan itu didasari risiko umrah mandiri bagi jemaah, negara, maupun ekosistem haji, dan umrah berbasis keumatan.
Gugatan bakal didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Opsi judicial review (JR) ke MK masuk dalam salah satu opsi yang mungkin akan ditempuh ke depannya," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMPHURI, Zaki Zakariya kepada Kompas.com, Minggu (26/10/2025).
AMPHURI bersama 12 asosiasi lain, kata Zaki, terus berusaha menjaga ekosistem umrah dan haji yang berbasis keumatan.
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) memandang bahwa penyelenggaraan haji dan umrah merupakan bentuk nilai ibadah serta tanggung jawab.
Hal tersebutlah yang membuat AMPHURI bersama 12 asosiasi lain merasa resah dan keberatan dengan diaturnya umrah mandiri.
PPIU dan PIHK, kata Zaki, ingin memastikan masyarakat yang menjalankan ibadah ke Tanah Suci tetap dibimbing, dilindungi, dan membawa berkah bagi umat Islam.
"Bukan sekadar transaksi global," ujar Zaki.
Di samping itu, ia mengatakan bahwa banyak calon jemaah umrah yang tidak mengerti soal pengurusan administrasi lintas negara hingga aturan syar'i yang berlaku.
Ketidaktahuan calon jemaah umrah mandiri ini yang membuat mereka rentan melanggar ketentuan.
"Banyak regulasi yang perlu diperhatikan, bahkan hanya sekadar memberi makan burung pun ada ancaman denda yang besar, belum termasuk regulasi-regulasi yang berat," ujar Zaki.
Risiko jemaah
Zaki menyebut, umrah mandiri memiliki risiko berbahaya bagi jemaah.
Zaki mengatakan, umrah mandiri yang diatur dalam Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Umrah dan Haji (UU PIHU) sekilas terdengar memberi kebebasan bagi masyarakat yang ingin beribadah ke Tanah Suci.
“Padahal, mengandung risiko besar bagi jemaah dan negara,” kata Zaki, dalam keterangannya, Minggu (26/10/2025).
Zaki mengatakan, jemaah umrah yang berangkat ke Tanah Suci secara mandiri berpotensi tidak mendapatkan pembinaan manasik, bimbingan fiqh (hukum Islam), dan perlindungan hukum sebagaimana mestinya.
Ketika calon jemaah gagal berangkat, visa terlambat terbit, kehilangan basis, maupun penipuan, mereka harus mengurus semua itu sendiri.
“Jemaah tidak memiliki pihak yang bertanggung jawab secara hukum,” tutur Zaki.
Menurut Zaki, masyarakat awam pada umumnya tidak memahami ketentuan di Arab Saudi, pengurusan visa, miqat, maupun aturan syari’at.
Oleh karena itu, jemaah umrah yang berangkat secara mandiri justru berisiko melanggar aturan manasik hingga berpotensi terkena sanksi di Tanah Suci.
Ia mencontohkan, banyak jemaah yang tiba-tiba ditahan polisi Kerajaan Saudi karena menggunakan atribut terkait politik hingga tinggal terlalu lama melebihi batas waktu (overstay).
“Bahkan, ada yang ditahan karena duduk di pinggir jalan dan dianggap sebagai peminta-minta,” tutur Zaki.
Ia menekankan, di Arab Saudi, terdapat banyak regulasi yang harus dipahami dan diikuti.
Peristiwa yang ia contohkan di atas, kata dia, hanya terkait pelanggaran regulasi kecil.
“Hanya sekadar memberi makan burung pun ada ancaman denda yang besar, belum termasuk regulasi-regulasi yang berat,” tegas dia.
Pemerintah resmi melegalkan umrah mandiri.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 86 UU PIHU.
Umrah mandiri mewajibkan calon jemaah memiliki paspor yang berlaku paling sedikit enam bulan dan sudah mengantongi tiket pulang dan pergi.
Selain itu, calon jemaah juga harus memiliki surat keterangan sehat dari dokter, mengantongi visa, dan tanda bukti pembelian paket layanan dari penyedia layanan di Sistem Informasi Kementerian Haji.
Penjelasan pemerintah
Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan Pemerintah telah mengatur mekanisme umrah mandiri.
Para calon jemaah umrah, kata Dahnil, harus terdaftar pada sistem data yang terintegrasi antara Indonesia dan Arab Saudi.
"Mereka harus juga terdaftar atau melaporkan atau melakukan pemesanan, misalnya hotel, kemudian layanan-layanan lainnya di Saudi Arabia, melalui sistem Nusuk yang terintegrasi antara Kementerian Haji Arab Saudi dengan Kementerian Haji Indonesia," kata Dahnil kepada wartawan, Sabtu (25/10/2025).
Menurut Dahnil, melalui sistem ini para jemaah umrah mandiri akan dapat diawasi dan dilindungi.
Saat jemaah umrah mandiri berangkat ke Saudi Arabia, Dahnil mengatakan secara otomatis mereka terlindungi negara.
"Sehingga kita bisa mendapat data yang benar terkait dengan jemaah umrah yang berangkat ke Saudi Arabia dan kita bisa melakukan perlindungan terhadap jemaah-jemaah umrah tersebut," katanya.
Selain itu, Dahnil mengungkapkan Pemerintah melarang penghimpunan jemaah umrah mandiri layaknya biro travel.
Langkah ini, kata Dahnil, untuk melindungi biro perjalanan umrah.
"Itu tentu melanggar hukum dan kita ingin memastikan perlindungan terhadap usaha-usaha travel yang legal, tapi juga kita memberikan ruang legalitas untuk umroh mandiri, karena ini arusnya tidak bisa dibendung," ucapnya.
Syarat Umrah Mandiri
Syarat melaksanakan umah mandiri diatur dalam Pasal 87A UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang PIHU.
Setidaknya ada 5 syarat yang harus dipenuhi masyarakat yang hendak menjalankan umrah mandiri, di antaranya:
Beragama Islam
Memiliki paspor yang masih berlaku paling singkat enam bulan sejak tanggal keberangkatan
Memiliki tiket pesawat tujuan Arab Saudi dengan jadwal keberangkatan dan kepulangan yang sudah pasti
Memiliki surat keterangan sehat dari dokter
Memiliki visa serta bukti pembelian paket layanan dari penyedia resmi melalui Sistem Informasi Kementerian
Selain itu, Pasal 88A UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang PIHU mengatur tentang hak jemaah umrah mandiri, di antaranya:
Mendapatkan layanan sesuai perjanjian tertulis antara penyedia layanan dan jemaah
Berhak melaporkan kekurangan pelayanan kepada Menteri Agama. (Tribun-timur.com / Kompas.com )

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.