Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Podcast Tribun Timur

Kadin Sulsel Minta Suku Bunga Kredit Turun Agar Geliatkan Sektor Riil

Menurut Satriya Madjid, sektor riil perlu didorong agar bisa menciptakan lapangan kerja hingga akhirnya menumbuhkan perekonomian.

Penulis: Rudi Salam | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM
SUKU BUNGA KREDIT - Wakil Ketua Umum Kadin Sulsel Satriya Madjid (tengah) dan Pengamat Ekonomi Unhas Prof Marsuki DEA (kiri), saat mengisi podcast Tribun Business Forum yang disiarkan melalui YouTube Tribun Timur, Rabu (29/10/2025). Pengusaha minta pemerintah turunkan suku bunga kredit agar gerakkan sektor riil. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulawesi Selatan, Satriya Madjid meminta pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit agar bisa menggerakkan sektor riil.

Sektor riil sendiri mengacu pada bagian perekonomian yang berkaitan langsung dengan produksi barang dan jasa nyata di masyarakat, seperti sektor pertanian, manufaktur, perdagangan, dan jasa.

Menurut Satriya Madjid, sektor riil perlu didorong agar bisa menciptakan lapangan kerja hingga akhirnya menumbuhkan perekonomian.

“Jadi, fokusnya sekarang bagaimana sektor-sektor ini bekerja, agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata,” kata Satriya Madjid, saat menjadi narasumber Tribun Business Forum yang disiarkan melalui YouTube Tribun Timur, Rabu (29/10/2025).

Podcast Tribun Business Forum itu juga menghadirkan Pengamat Ekonomi dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Marsuki DEA.

Dipandu host I Luh Devi Sania, Tribun Business Forum banyak membahas seputar kebijakan dan harapan pengusaha terhadap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

Satriya Madjid dalam kesempatan itu, memuji tambahan dana ke bank sekitar Rp200 triliun yang menjadi angin segar bagi dunia usaha. 

Dengan adanya stimulus itu, ia menilai semangat berusaha meningkat dan ekonomi di lapisan bawah bisa kembali bergerak. 

Apalagi pada pemerintahan Presiden Prabowo, fokus awalnya pada sektor pangan, memastikan ketersediaan dan pembenahan sistem pangan nasional. 

Setelah itu baru dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur dan program Makan Bergizi Gratis atau MBG.

“Kami di sektor konstruksi sangat merasakan efek berantai dari proyek infrastruktur. Satu triliun rupiah saja bisa menggerakkan sekitar 15 ribu tenaga kerja, dan dampaknya bisa berlipat hingga tiga kali di masyarakat. Jadi, semakin banyak proyek berjalan, semakin besar pula perputaran ekonomi,” kata Satrya Madjid.

Kendati demikian, Ketua  Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) Sulsel itu memiliki beberapa saran untuk pemerintah.

Seperti di perbankan, saat ini bank-bank pemerintah menawarkan bunga deposito hingga 7 persen, lalu menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit dengan bunga 10 sampai 12 persen. 

Dalam kondisi seperti ini, ia menilai margin keuntungan bagi pengusaha, terutama di konstruksi hanya sekitar 10 sampai 15 persen, sehingga beban bunga sangat memberatkan.

Ia pun berharap, bunga kredit bisa diturunkan, minimal ada keseimbangan antara keuntungan pengusaha dan perbankan. 

“Turunkan bunga agar pengusaha bisa bernapas dan berproduksi. Kalau sektor riil bergerak, maka perbankan juga pada akhirnya akan ikut sehat,” katanya.

Satrya Madjid juga meminta agar tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kini 12 persen dikembalikan ke 10 persen untuk meringankan pelaku usaha. 

Ketidakstabilan Keuangan 

Pengamat Ekonomi dari Unhas, Prof Marsuki DEA menilai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada peningkatan likuiditas perbankan memiliki risiko menimbulkan ketidakstabilan keuangan.

Itu jika tidak diimbangi dengan peningkatan penyerapan kredit di sektor riil.

Menurut Prof Marsuki, logika berpikir Purbaya berangkat dari sisi supply side untuk mendorong demand side. 

Ia menilai pendekatan ini terlihat dari upaya menahan kenaikan pajak dan mendorong penyaluran likuiditas agar kapasitas perbankan meningkat.

“Masalahnya, kredit yang sudah ada saja belum terserap. Kalau likuiditas digelontorkan besar-besaran, situasi keuangan bisa kacau dan membuat Bank Indonesia bingung,” katanya.

Ia menambahkan, meski inflasi saat ini masih tergolong rendah, kebijakan ekspansi likuiditas secara agresif justru dapat memunculkan risiko baru bagi stabilitas sistem keuangan.

Lebih lanjut, Prof Marsuki menilai harapan pemerintah agar suku bunga turun juga sulit tercapai dalam kondisi saat ini. 

Pasalnya, perbankan masih menanggung beban bunga deposito dan rekening nasabah sekitar 4 persen, sementara penyaluran kredit belum optimal.

“Beban bunga bisa mencapai 8 sampai 9 persen. Ini membuat bank semakin berhati-hati menyalurkan kredit,” jelas Prof Marsuki.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved