Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa: Hilirisasi Bukan Soal Produksi, Tapi Soal Harga Diri Bangsa

“Hilirisasi bukan soal harga produksi, tapi soal harga diri bangsa,” ujarnya lantang di Baruga Andi Pangerang Pettarani

Penulis: Faqih Imtiyaaz | Editor: Saldy Irawan
ISTIMEWA
UNHAS - Suasana seminar nasional bertema Hilirisasi dan Ketahanan Energi di Unhas. Kegiatan yang berlangsung di Baruga Andi Pangerang Pettarani, Jumat (8/11). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Jamaluddin Jompa, membuka seminar nasional bertema Hilirisasi dan Ketahanan Energi dengan pernyataan yang memantik tepuk tangan panjang dari audiens.

“Hilirisasi bukan soal harga produksi, tapi soal harga diri bangsa,” ujarnya lantang di Baruga Andi Pangerang Pettarani, Jumat (8/11).

Kalimat itu menjadi pusat perhatian forum yang dihadiri Rektor Universitas Paramadina sekaligus penasihat Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Prof. Didik Junaidi Rachbini, bersama perwakilan Kementerian ESDM.

Jamaluddin menegaskan, hilirisasi bukan sekadar urusan teknis ekonomi, melainkan simbol martabat bangsa.

“Kalau bahan mentah seperti kakao atau mente dari Indonesia diekspor, lalu kita beli lagi cokelat merek asing dengan harga 20 kali lipat, di mana harga diri kita?” katanya.

Rektor Unhas yang akrab disapa JJ itu menilai hilirisasi harus diletakkan dalam bingkai nasionalisme baru.

“Downstreaming is about dignity. Ini bukan hanya urusan industri, tapi keberanian bangsa berdiri di atas kakinya sendiri,” ujarnya disambut ratusan tepuk tangan mahasiswa.

Dalam forum itu, Jamaluddin juga menyinggung perlunya percepatan kerja sama lintas lembaga. Ia mencontohkan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Unhas dan Paramadina yang berlangsung hanya “sepuluh menit setelah makan siang”.

“Bukan lagi yang kuat mengalahkan yang lemah, tapi yang cepat mengalahkan yang lambat,” ujarnya.

“Kebanggaan saya, Unhas dan Paramadina mencatat rekor MURI: sepuluh menit langsung tanda tangan kontrak.”

Jamaluddin menekankan bahwa era birokrasi lamban sudah lewat. Menurutnya, universitas harus menjadi motor inovasi yang lincah.

“Sekarang tidak ada lagi universitas yang bisa bekerja sendiri. Kemitraan adalah kunci,” katanya.

Unhas sendiri, kata dia, tengah menyiapkan beragam program hilirisasi, mulai dari pengembangan industri kakao hingga produksi mobil listrik Engi-Move buatan mahasiswa Teknik.

“Kalau di Jawa belum banyak mobil listrik, biarlah produk Unhas menembus pasar Jawa,” ujar Jamaluddin disambut tawa hadirin.

Jamaluddin menegaskan komitmen Unhas mengawal hilirisasi di kawasan timur Indonesia.

“Kami siap menjadi garda depan. Ini bukan cuma tentang cokelat dan kopi, tapi keberanian memproduksi sendiri apa yang kita miliki,” katanya.

Ia menambahkan, semangat hilirisasi juga berarti keberanian memperluas cakrawala inovasi.

“Unhas bahkan siap membuat pesawat sendiri kalau perlu. Jangan sampai rektor terganggu jadwal karena pesawat,” ujarnya berseloroh.

Hilirisasi Adalah Industri, Bukan Sekadar Slogan

Dalam kesempatan yang sama, Prof. Didik Junaidi Rachbini menanggapi pandangan Rektor Unhas dengan mengaitkannya pada kebijakan industri nasional. “Saya setuju dengan Pak Rektor.

Hilirisasi itu bukan soal teknis, tapi soal strategi kebangsaan,” ujar Didik.

Menurut Didik, Indonesia mengalami kemunduran industri dalam dua dekade terakhir. “Zaman Pak Harto, industri tumbuh 10 persen, ekonomi naik 7 persen. Sekarang industri hanya tumbuh 3 persen. Ini masalah serius,” ujarnya.

“Masalah bangsa ini satu kata saja: industri.” Kalimat lugas itu diucapkan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik Junaidi Rachbini, dalam seminar nasional bertema Hilirisasi dan Ketahanan Energi di Universitas Hasanuddin, Jumat (8/11).

Sebagai penasihat Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Didik menekankan pentingnya riset kebijakan dan implementasi nyata. “Kita punya nikel, emas, dan kakao, tapi tetap ekspor mentah. Bedanya apa dengan zaman VOC?” katanya.

Didik memaparkan, nilai tambah produk hilirisasi bisa mencapai puluhan kali lipat. “Dari bijih nikel menjadi baterai nilainya naik 67 kali. Kalau kita berhenti di tengah rantai, yang untung justru negara lain,” ujarnya.

Kritik dan Solusi

Ekonom senior ini juga menyinggung stagnasi pertumbuhan industri Indonesia. “Zaman Pak Harto, pertumbuhan industri 10 persen, ekonomi 7 persen. Sekarang industri cuma 3 persen, ekonomi stagnan,” katanya.

Menurutnya, akar masalahnya adalah kurangnya keberanian berinovasi dan birokrasi yang lamban. “Kita butuh deregulasi, percepatan, dan efisiensi. Kalau masih terjebak meja-meja birokrasi, hilirisasi hanya akan jadi wacana,” ujar Didik.

Ia mencontohkan pengalaman Unhas dan Paramadina yang menandatangani kerja sama hanya sepuluh menit setelah makan siang.

“Itu simbol era baru. Kolaborasi tanpa birokrasi. Lebih cepat, lebih baik,” katanya sambil menyebut tagline mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Ia menegaskan hilirisasi harus menjadi bagian dari transformasi industri nasional, bukan hanya jargon politik. “Kalau ekspor kita masih bahan mentah, nilainya tak akan pernah naik. Harus ada nilai tambah dari dalam negeri,” katanya.

Didik juga menyambut baik semangat kemitraan yang digaungkan Unhas. “Ini contoh konkret sinergi kampus dan kebijakan. Kalau semua universitas meniru langkah cepat seperti Unhas, percepatan hilirisasi akan terasa,” ujar ekonom senior itu.

“Kalau masih bangga beli Silver Queen dari Singapura, kita belum berdaulat. Hilirisasi adalah jalan menuju kemandirian Indonesia,” tutupnya.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved