Sanksi yang terlalu jarang dijatuhkan membuat pelaku semakin berani, seakan-akan politik uang adalah biaya wajib yang harus dikeluarkan demi meraih kursi legislatif atau eksekutif.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah penyalahgunaan fasilitas negara oleh para petahana dan calon yang berafiliasi erat dengan kekuasaan.
Program-program bantuan sosial dan infrastruktur pemerintah, yang sebenarnya dirancang untuk kesejahteraan masyarakat, kerap disulap menjadi instrumen kampanye terselubung.
Aparat birokrasi mulai dari pegawai negeri sipil hingga perangkat desa dan pengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) kerap dimobilisasi untuk mensosialisasikan satu calon tertentu.
Dalam banyak kasus, kepala daerah bahkan secara terbuka tampil sebagai orator utama dalam acara seremonial yang sesungguhnya berkedok kampanye.
Praktik semacam ini merusak prinsip netralitas pemerintahan dan menimbulkan kesan bahwa dukungan publik terhadap kandidat incumbent adalah syarat mutlak kelanjutan program pemerintah.
Sementara itu, kampanye substantif nyaris tanpa panggung yang memadai. Debat publik tematik, diskusi kebijakan, dan forum-forum ilmiah yang menuntut penjelasan program kerja calon diabaikan karena kalah bersaing dengan iklan citra visual yang berlangsung masif di media massa dan daring.
Padahal masyarakat membutuhkan ruang untuk menilai kualitas visi dan misi para kandidat, bukan sekadar menilai seberapa menarik wajah atau slogan yang ditayangkan.
Aturan yang melarang penggunaan program strategis nasional non-rutin saat masa kampanye sering kali dilanggar tanpa sanksi. Akibatnya, wacana politik meredup dan pemilu berubah menjadi ajang unjuk kekuatan finansial, bukan arena adu gagasan.
Reformasi Regulasi Kampanye
Reformasi regulasi kampanye secara komprehensif sangat diperlukan agar demokrasi kembali berpijak pada prinsip keadilan akses dan keberagaman suara.
Pertama, perlu ada pengaturan yang lebih ketat terhadap jadwal dan penggunaan anggaran kampanye.
Setiap anggaran non-rutin pemerintah pusat maupun daerah harus ditunda pelaksanaannya selama masa kampanye, sehingga program strategis tidak dijadikan alat persuasi politik.
Selain itu, undang-undang harus secara eksplisit melarang penyaluran bantuan sosial dan insentif finansial yang bersifat non-rutin selama periode kampanye berlangsung. Dengan demikian, potensi penyalahgunaan bantuan negara untuk kepentingan elektoral dapat diminimalkan.
Kedua, penguatan asas netralitas aparatur negara menjadi kunci agar birokrasi tak lagi menjadi “tendensi politik” tersembunyi.