Opini

Jauhkan Nalar Kalkulator dari Pilkada

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KLAKSON - Abdul Karim Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi dan Humaniora

Sadar dengan keterbatasan popularitasnya, tapi mereka urung mundur. Malah tancap gas dengan menyewa konsultan politik. Biaya lagi bukan?

Konsultan politik bekerja profesional mendongkrak elektabilitas dan popularitas kandidat tak cuma-cuma. Biaya lagi bukan?

Kandidat yang tak cukup uang mengongkosi konsultan politik biasanya tak mencolok dimata publik. Lalu mengapa mereka nekat berlaga bila tahu bahwa elektabilitas dan popularitasnya tak memadai?

Tak hanya itu, konsultan politik pun mau tak mau harus memoles sang kandidat agar mudah diterima khalayak. Performance kepemimpinan sang kandidat harus dimunculkan, biasanya mencakup kecakapan dan aspek sumberdaya manusia  (SDM) sang kandidat. 

Kandidat yang memiliki kecakapan dan SDM level standar atau dibawah standar harus dipoles sedemikian rupa agar publik yakin dengan kompetensinya.

Dalam rangka memoles itulah biayanya tak sedikit. Biaya lagi bukan? Lalu, mengapa mereka nekat maju bertarung di pilkada bila faham bahwa kecakapan dan SDMnya tak layak? 

Memaksa diri maju bertarung dengan memaksa memasarkan diri plus nihilnya kompetensi SDM berarti memaksa diri mengeluarkan dana jumbo—termasuk biaya sembako, serangan “fajar” dan hamburan amplop.

Bila kalah atau menang, dikeluhkanlah biaya mahal proses pertarungan, lantas menyalahkan sistem pilkada. Tak logis, sebab mahalnya biaya politik pilkada karena aturan pilkada terkait larangan uang mahar, dan larangan serangan “fajar” dilanggar berjamaah.

Terkait tingginya biaya untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas, tak ada seruan tegas/wajib dalam UU nomor 10 tahun 2016 untuk menjalankannya.

Tapi mengapa jalan karbitan itu ditempuh bila resiko biaya jombo telah diketahui sebelumnya? Itulah ambisi, mungkin pilkada dianggap sebagai jalan kekuasaan, bukan jalan pengabdian. 

Oleh karena itu, mengatasi keluhan biaya mahal politik pilkada, esensinya bukan memilih antara pilkada langsung atau tidak langsung, melainkan membenahi akar persoalan politik biaya tinggi.

Akar persoalan itu adalah; “pelanggaran massif peraturan pilkada”. Solusinya; patuhi aturan pilkada yang melarang praktek uang mahar dan serangan “fajar”, jauhkan nalar kalkulator dari pilkada, serta jangan paksa diri bertarung bila popularitas rendah dan kualitas SDM dangkal, tak masuk akal.

Berita Terkini