Jika data warga Indonesia dikelola atau diakses oleh entitas luar negeri, ada potensi munculnya “kolonialisme digital”, di mana kontrol atas masyarakat kita dilakukan dari luar, melalui algoritma dan big data.
Penting juga untuk melihat bahwa Indonesia saat ini belum sepenuhnya siap dalam hal infrastruktur perlindungan data.
Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) sudah disahkan, tetapi lembaga pengawas independen yang seharusnya menjadi penggerak utama implementasinya masih belum terbentuk.
Ini menimbulkan kekhawatiran, bagaimana bisa kita memastikan bahwa transfer data benar-benar aman, jika mekanisme pengawasannya sendiri belum operasional?
Sebagai warga negara, kita perlu mendorong diskusi yang lebih luas dan kritis tentang arah kebijakan digital kita.
Pemerintah seharusnya tidak hanya mengejar pengakuan dan insentif dagang tetapi juga menjamin bahwa setiap langkah yang diambil tidak mengorbankan prinsip kedaulatan dan hak asasi digital warga.
Kesepakatan internasional harus ditimbang secara hati-hati, bukan hanya dalam bahasa diplomasi ekonomi tapi juga dalam bahasa etika dan keadilan sosial.
Fenomena ini menegaskan bahwa di era digital, politik bukan hanya soal tanah dan kekuasaan tetapi juga soal siapa yang menguasai informasi.
Maka pertanyaan mendasarnya adalah, apakah kita sedang menjual data dengan harga terlalu murah? Atau lebih buruk lagi, apakah kita tidak sadar bahwa data kita sedang dipertaruhkan?
Siapapun diantara kita tentu berharap semua hal pribadi terutama data kita tetap terjaga aman dan nyaman yang bersifat pribadi, semoga.(*)