Oleh: Rahmat Muhammad
Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam beberapa hari terakhir, publik Indonesia dikejutkan oleh kabar bahwa pemerintah telah menyepakati mekanisme transfer data pribadi warga negara Indonesia ke Amerika Serikat, sebagai bagian dari kesepakatan dagang bilateral.
Meskipun pemerintah menegaskan bahwa pengiriman data ini akan dilakukan secara selektif dan dalam koridor hukum yang ketat, reaksi masyarakat (khususnya kelompok pegiat privasi dan perlindungan data) tidak bisa dianggap sepele.
Di sinilah kita perlu menarik nafas panjang dan melihat persoalan ini lebih dalam yang bukan hanya dilihat dari sisi legal semata tapi juga dari sudut lain konsekuensinya.
Dalam kacamata Sosiologi, data pribadi bukan sekadar angka atau catatan digital, melainkan bagian dari konstruksi identitas sosial setiap individu.
Ketika data kita berpindah lintas batas negara yang berpindah bukan cuma informasi tapi juga sebagian dari kendali atas diri kita sebagai warga.
Ini menyangkut kedaulatan personal sekaligus kedaulatan digital sebuah bangsa. Kita harus bertanya, siapa yang mengendalikan data untuk kepentingan siapa dan bagaimana relasi kuasa bekerja di balik pengelolaan data itu?
Kesepakatan antara Indonesia dan Amerika ini memang dibingkai dalam konteks perdagangan dan kerja sama internasional.
Pemerintah menyatakan bahwa tidak ada serah terima data secara sembarangan.
Tetapi dari sudut pandang relasi global kita tidak bisa menutup mata terhadap ketimpangan struktural antara negara berkembang seperti Indonesia dan kekuatan besar seperti Amerika Serikat.
Negara-negara Global Utara selama ini mendominasi arsitektur teknologi digital dunia baik infrastruktur, regulasi maupun nilai-nilai yang menyertainya.
Ketika Indonesia menyepakati transfer data dalam konteks dagang, ada risiko bahwa kita sedang menukar komoditas dengan kedaulatan.
Sosiologi digital mengajarkan bahwa data relatif tidak netral. Ia lahir dari konteks sosial, digunakan dalam relasi kuasa dan berdampak pada pola hidup masyarakat.
Misalnya data kesehatan, lokasi dan kebiasaan konsumen bisa menjadi instrumen untuk mengarahkan perilaku, mengklasifikasi warga, bahkan mengecualikan kelompok tertentu dari akses layanan.
Jika data warga Indonesia dikelola atau diakses oleh entitas luar negeri, ada potensi munculnya “kolonialisme digital”, di mana kontrol atas masyarakat kita dilakukan dari luar, melalui algoritma dan big data.
Penting juga untuk melihat bahwa Indonesia saat ini belum sepenuhnya siap dalam hal infrastruktur perlindungan data.
Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) sudah disahkan, tetapi lembaga pengawas independen yang seharusnya menjadi penggerak utama implementasinya masih belum terbentuk.
Ini menimbulkan kekhawatiran, bagaimana bisa kita memastikan bahwa transfer data benar-benar aman, jika mekanisme pengawasannya sendiri belum operasional?
Sebagai warga negara, kita perlu mendorong diskusi yang lebih luas dan kritis tentang arah kebijakan digital kita.
Pemerintah seharusnya tidak hanya mengejar pengakuan dan insentif dagang tetapi juga menjamin bahwa setiap langkah yang diambil tidak mengorbankan prinsip kedaulatan dan hak asasi digital warga.
Kesepakatan internasional harus ditimbang secara hati-hati, bukan hanya dalam bahasa diplomasi ekonomi tapi juga dalam bahasa etika dan keadilan sosial.
Fenomena ini menegaskan bahwa di era digital, politik bukan hanya soal tanah dan kekuasaan tetapi juga soal siapa yang menguasai informasi.
Maka pertanyaan mendasarnya adalah, apakah kita sedang menjual data dengan harga terlalu murah? Atau lebih buruk lagi, apakah kita tidak sadar bahwa data kita sedang dipertaruhkan?
Siapapun diantara kita tentu berharap semua hal pribadi terutama data kita tetap terjaga aman dan nyaman yang bersifat pribadi, semoga.(*)