“Dalam sistem hukum Indonesia, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsi negative legislator, artinya tugas utama MK adalah menilai konstitusionalitas suatu norma hukum (biasanya dalam Undang-Undang) terhadap UUD 1945. Jika norma dianggap bertentangan dengan UUD, MK dapat membatalkan (menghapus) norma tersebut (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). MK tidak boleh membuat norma baru atau merancang ketentuan baru, karena itu merupakan ranah pembentuk undang-undang (legislatif dan pemerintah),” katanya.
Menurutnya, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD yang hanya bersandar pada Putusan MK, tanpa diikuti perubahan norma dalam UU oleh pembentuk undang-undang, berisiko melanggar prinsip konstitusional.
“MK bukan pembuat norma baru (positive legislator), dan kebijakan semacam itu seharusnya berada dalam ranah open legal policy pembentuk undang-undang, sepanjang tidak menyimpang dari Pasal 22E UUD 1945 tentang siklus pemilu lima tahunan,” katanya.
Hal yang lain tak kalah penting adalah penambahan masa jabatan ini tak adil kepada kepala daerah masa jabatan 2021-2026.
Masa jabatan mereka dipotong sekitar 1 tahun.
“Kini dengan alasan keserentakan, keputusan MK berpotensi menambah masa jabatan anggota DPRD. Sehingga, ini tak ada untuk anggota DPRD masa lalu. Seperti anggota periode 1997-2003 yang berhenti masa jabatannya 1999 karena alasan pemilu ulang,”katanya.
Dalam preseden pemilu, masa jabatan anggota DPRD adalah pemotongan bukan perpanjangan. (*)