TRIBUN-TIMUR.COM - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menanggapi wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI.
Ketua MK Suhartoyo menyinggung wacana pemakzulan Gibran saat menjadi narasumber atau pemateri dalam PKPA Angkatan VII DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) pada Minggu (15/6/2025).
Sebelumnya, Guru besar hukum tata negara yang juga mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menemukan cela pemakzulan.
Suhartoyo mengatakan, wajib memberikan putusan atas pendapat DPR RI mengenai dugaan pelanggaran presiden dan atau wakil presiden (wapres) menurut Undang-Undang Dasar (UUD).
MK wajib memutus jika ada permohonan dari DPR RI.
"Ini yang sering kita dengar dengan istilah impeachment atau pemakzulan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, permohonan tersebut bisa diajukan, jika presiden dan atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum, di antaranya berupa pengkhianatan terhadap negara.
“Melakukan korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,” ujarnya.
Alasan lainya, yakni presiden dan atau wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ia menyampaikan, ini merupakan kewajiban yang diberikan kepada MK di samping 4 kewenangan, yakni menguji UU terhadap UUD 1945, kemudian memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilu.
Suhartoyo mengatakan, pengujian UU terhadap UUD 1945 ini biasa disebut dengan judicial review (JR).
Permohonan JR itu terdiri dari dua, yakni pengujian secara formil dan materiil.
Pengujian secara formil adalah pengujian UU soal tata cara atau prosedur pembentukan UU yang dinilai oleh pemohon cacat hukum atau bertentangan dengan konstitusi.
Ada tenggat waktu untuk mengajukan permohonan pengujian formil, yakni maksimal 45 hari setelah UU itu diundangkan. Kalau dikabulkan, maka UU itu menjadi batal demi hukum.
“Artinya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” katanya.