Opini

Tahun Penuh Tipu Daya

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - Aswar Hasan, Dosen Fisipol Unhas

Hadis ini sering dikaitkan dengan banyaknya informasi menyesatkan di media terutama media sosial hingga di masyarakat.

Orang-orang yang tidak berkompeten berbicara soal agama, politik, hukum, dan lain-lain, namun justru diikuti dan dipercaya karena diberi amanah serta terjadinya krisis kepemimpinan dan rusaknya moral publik.

Dalam era digital saat ini, khususnya di Indonesia, fenomena ruwaibidhah sangat terasa melalui berbagai kanal media sosial dan ruang publik lainnya.

Banyak orang yang tidak memiliki kompetensi, tidak punya pengetahuan yang mendalam, atau bahkan tidak memiliki integritas, justru diberi amanah karena telah berjasa sebagai tim sukses dan tampil sebagai figur publik yang terpaksa diikuti jutaan orang.

Mereka itu diantaranya kaum influencer yang bicara soal agama atau kesehatan tanpa dasar keilmuan. Mereka menjadi tokoh sembari menyebarkan teori konspirasi, dan dipercaya lebih dari seorang ahli sebenarnya.

Mereka tidak pernah belajar politik, agama, atau kebijakan publik, tapi mengomentari arah negara dengan narasi menyesatkan. Menyebarkan hoaks dan fitnah, dan lebih dipercaya daripada berita dari sumber resmi.

Ruwaibidhah Modern

Inilah zaman "matinya kepakaran" (The Death of Expertise) seperti yang dikemukakan oleh Tom Nichols, seorang profesor dan penulis asal Amerika Serikat.

Nichols menyampaikan bahwa dalam era informasi (terutama era internet dan media sosial), otoritas pakar atau ahli kian diremehkan oleh masyarakat luas. Berikut  beberapa ciri utama matinya kepakaran  menurut Tom Nichols:

1. Semua Orang Merasa Ahli.

Orang merasa punya akses ke informasi  untuk menguasai suatu pemahaman atau keahlian.

Contoh: setelah membaca artikel di internet atau menonton video YouTube, seseorang merasa sudah cukup tahu untuk menolak pandangan ahli yang menghabiskan puluhan tahun belajar di bidangnya.

2. Terjadi ketidakpercayaan terhadap Institusi dan Ahli.

Masyarakat semakin mencurigai otoritas ilmiah, termasuk dokter, ilmuwan, akademisi, bahkan hakim atau jurnalis. Mereka cenderung percaya teori konspirasi atau narasi dari figur populer.

3. Adanya keangkuhan Anti-Intelektual.

Halaman
123

Berita Terkini