Siapa nyana, itulah kali pertama saya bersama Mappinawang mengikuti pelatihan internasional hampir selama satu bulan.
Kami ditempatkan di keluarga Belanda di berbagai daerah di Den Haag, dengan tempat pelatihannya di salah satu Istana Kerajaan Belanda yang Paleis Kneuterdijk di Den Haag.
Lokasi dan tempat kursus “terbaik” sepanjang hidup, hingga sampai saat ini. Pesertanya tidak hanya berasal dari negara di Asia saja, tetapi juga di Afrika, dengan pengajar yang sebagian besar adalah para professor dari berbagai universitas di negara Eropa, selain dari negeri Belanda sendiri.
Kedekatan dengan Mappinawang dimulai dari suatu tempat nun jauh di Den Haag, Belanda.
Negeri di mana secara historis “menghisap” hampir sempurna, sebagian besar kekayaan dari Republik yang dipersembahkan untuk Kerajaan Belanda, dalam kurun waktu yang begitu lama, tak sekadar hanya seabad saja seperti tersebut dalam Sejarah Indonesia.
Dalam suatu percakapan lepas, kami selalu mengingatkan satu dan lainnya, apa yang kami dapatkan di salah satu pusat pendidikan terbaik di dunia, di bidang Hak Asasi manusia, sudah seharusnya diberikan pada kami dan putra-putri Indonesia lainnya.
Saya selalu bilang, “Mappi, semua fasilitas dari pelatihan ini berasal dari kekayaan Indonesia, jadi jangan sungkan untuk ‘memanfaatkannya’ secara maksimal.”
Saya pernah melihat satu set ukiran wayang berupa sendok, garpu dan tempat makan lainnya di lokasi tempat kami tinggal, juga sudah dikonfirmasi Mappi.
Hal serupa juga ditemukan dan didapatkan pada keluarga orang Belanda di mana tempat almarhum Mappi tinggal.
Pada hari weekend, kami biasanya pergi bersama dengan kolega lain peserta pelatihan mengunjungi berbagai objek wisata yang ada di Belanda.
Hampir semua objek wisata di Den Haag sudah kami kunjungi. Antara lain: di Binnenhof (Kompleks parlemen tertua yang masih digunakan di dunia), Vredespaleis (Peace Palace),
yaitu rumah bagi Pengadilan Internasional (ICJ) dan tentu saja, Pantai Scheveningen, pantai populer dengan dermaga dan banyak restoran seafood yang hanya kami lihat dari kejauhan.
Ada 3 (tiga) hal lagi yang masih tak lekang dari ingatan ketika bersama almarhum tetirah di Belanda, yaitu: Keukenhof, kami pergi bersama ke lokasi wisata bunga tulip yang paling terkenal di dunia; Madurodam.
Kami juga sempat mengunjungi tempat wisata berisi miniatur bangunan di Belanda, di mana hampir semua landmark dan kota terkenal di Belanda dalam skala 1:25 ada di sana.
Pada suatu sore, sembari berjalan santai menyusuri jalan di Kota Den Haag, kami menemukan, salah satu yang “unik.”
Ternyata, hampir sebagian besar nama kota di Indonesia dijadikan nama jalan di Belanda, khususnya di Den Haag, sehingga bisa dengan mudah didapatkan alamat berupa: Solo Straat, Sunda, Jakarta, Bandung, Deli hingga Bangka Straat dan lainnya.
Penutup
Tulisan ini hanyalah serpihan bersama Mappinawang, dan dapat menjadi bagian dari buku yang didedikasikan padanya, yang tidak diragukan lagi kiprah, hati dan keberpihakannya pada kemanusiaan, keadilan, demokrasi dan tindak anti korupsi.
Terima kasih pada semua, atas inisiatif dan ikhtiar untuk menjadikan buku ini hadir dengan segala keterbatasan dan kekuatannya.
Ada tanya yang terus mengganjal, apakah ini cukup untuk “menghargai” dan “membalas” segala bijak dan budi yang sudah disemai almarhum.
Jalan terjal yang kita harus tapaki pada tahun mendatang, makin sulit dan kompleks, sehingga memerlukan ketangguhan, ketahanan dan kegigihan yang paripurna. Di sisi lainnya, kita miskin keteladanan dan rapuh dalam mengonsolidasi kekuatan.
Mungkinkah, almarhum Mappi menjadi titik awal bagi kita untuk berpijak dengan mereplikasi keteladanan terbaik yang dimilikinya dan mengombinasikannya dengan akal budi dan
kewarasan dari penerusnya, aktivis berikutnya.
Doa terbaik agar ruh almarhum diterima hanya di sisi terbaik di pelukan Khaliknya.
Depok, ujung Syaban, Menjelang Awal Ramadan 1446