Ngopi Akademik

Dokter Sakit?

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - Rahmat Muhammad Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas

Oleh: Dr Rahmat Muhammad

Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Minggu ini kita dikagetkan 3 kasus kekerasan dan juga pelecehan seksual dalam dunia kesehatan di Bandung, Garut dan Malang oleh dokter. 

Khusus kasus di Bandung yang melibatkan dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) telah menggemparkan publik.

Idealnya hubungan mutualistik antara dokter dengan pasien tetapi ini melebar ke keluarga pasien yang jadi korban, ada apa?

Tenaga medis, yang seharusnya menjadi penolong, justru menjadi pelaku kejahatan seksual terhadap keluarga pasien di rumah sakit.

Modusnya sangat mengerikan, korban dibius lebih dulu sebelum dirudapaksa. 

Ini bukan hanya pelanggaran hukum dan etika, tapi juga mencerminkan krisis dalam sistem sosial dunia kesehatan kita. 

Tindakan kriminal oleh seseorang yang berlindung dibalik profesi terhormat jamak terjadi tidak bisa dibiarkan.

Bagi banyak orang, ini mungkin tampak sebagai kasus individual atau kegagalan moral pribadi oleh oknum yang bermasalah secara Psikologis.

Secara normatif tugas dokter memang untuk menyembuhkan pasien yang sakit, tentu akan lain cerita jika si dokter yang sakit diikuti pelanggaran hukum kasus kriminal.

Dari perspektif Sosiologi, terutama melalui pemikiran Michel Foucault, kasus ini sebetulnya menyimpan persoalan yang lebih dalam relasi antara pengetahuan dan kekuasaan, serta bagaimana dunia medis menyusun kendali dan ketaatan.

Foucault menyatakan bahwa pengetahuan tidak pernah netral. Di dalam dunia kedokteran, pengetahuan medis memberi kekuasaan yang besar kepada dokter.

Hegemoni dokter bisa menentukan tindakan medis, menyentuh tubuh orang lain atas nama penyembuhan dan membuat keputusan yang bahkan melampaui kehendak pasien awam pengetahuan terhadap regulasi.

Ini yang membuat profesi dokter ditempatkan sangat tinggi secara sosial. Masalahnya, ketika pengetahuan itu tidak dikontrol oleh sistem etik dan sosial yang kuat.

Maka kekuasaan yang melekat pada seseorang bisa disalahgunakan tanpa pengawasan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang merugikan profesi dokter dengan jumlah ribuan jauh lebih baik dengan misi kemanusiaan yang diemban. 

Menjadi dokter bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga pembentukan etika, empati dan kesadaran sosial.

Kalau proses pendidikan terlalu menekankan kompetensi teknis dan abai terhadap pembentukan karakter, maka yang kita hasilkan bukan “penyembuh”, tapi justru aktor berbahaya dalam sistem. 

Pendidikan kedokteran harus dilihat juga sebagai proses sosial, bukan sekadar akademik. 

Harus ada evaluasi terhadap lingkungan sosial pendidikan, budaya senioritas dan tekanan mental yang bisa membuat peserta didik menjadi tumpul secara moral.

Kasus di Bandung ini memperlihatkan bagaimana otoritas medis bisa bertransformasi menjadi kuasa yang menindas. 

Pelaku menggunakan akses dan keahliannya dalam anestesi, bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk melumpuhkan dan mengendalikan.

Di sini, pengetahuan menjadi alat kekerasan. Ini bukan lagi soal “oknum” semata, tetapi pertanda bahwa dalam dunia kedokteran, bisa jadi ada celah yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan tanpa pengawasan yang memadai.

Masyarakat kita pun masih menempatkan dokter selalu “di atas” pasien, tidak boleh dikritik, dan harus dipatuhi. Ini membuat relasi kuasa makin timpang.

Korban berada di posisi yang tidak berdaya sangat lemah secara fisik, sosial dan simbolik. Dalam logika Foucault, korban sudah di “disiplinkan” sejak awal untuk tunduk. 

Maka, ketika kekerasan terjadi, ia mungkin tidak tahu harus berbuat apa, atau bahkan merasa tidak punya hak untuk melawan.

Dalam kasus ini memperlihatkan bahwa kontrol sosial dalam dunia medis masih banyak mengandalkan kehormatan profesi. 

Selain itu, kasus ini juga membuktikan bahwa kontrol internal saja tidak cukup. Kita butuh mekanisme transparansi, pelaporan yang aman, serta keberanian untuk membuka celah kekuasaan yang selama ini dilindungi simbol keilmuan dan organisasi profesi.

Selain itu, kita juga harus bicara soal kepercayaan publik terhadap tenaga kesehatan.

Kasus ini bisa menggerus rasa aman masyarakat untuk datang ke rumah sakit oleh stigma negatif kalau tidak ada langkah konkret dari institusi baik dari rumah sakit, universitas, organisasi profesi, maupun Kemenkes untuk menindak dan memperbaiki sistem.

Maka yang rusak bukan hanya nama baik institusi, tapi juga kepercayaan masyarakat yang sangat penting bagi sistem kesehatan itu sendiri. 

Dari kasus ini, kita diingatkan bahwa sistem kesehatan tidak berdiri di ruang hampa tetapi sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial, struktur kekuasaan, dan relasi antarindividu.

Pendekatan Sosiologi membantu kita melihat bahwa kejahatan seperti ini bukan hanya soal oknum, tapi juga soal sistem. Dan kalau sistemnya tidak dievaluasi, maka kasus ini bukan yang terakhir. 

Upaya pencegahan agar hal serupa tidak terjadi lagi ada 4 poin perlu jadi perhatian sebagai masukan;

Pertama, bahwa umumnya pengelola  pendidikan dokter tidak merasakan perubahan sosial yang sangat cepat yang mendorong fokus pendidikan dokter tidak hanya pada tanggung jawab akademik dan profesi, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab sosial (social responsibility).

Kedua, pendidikan dokter yang sangat padat kurikulum, waktu yang terbatas dan biaya yang mahal menyebabkan pola hubungan pasien-dokter tanpa sadar bergeser dari empati, kasih sayang dan care ke relasi kuasa. Salah satu karakteristik profesi dokter adalah otonomi.

Otonomi harus dikontrol oleh etik dan akuntabilitas. Hal ini akan tercermin bagaimana kewenangan yang diberikan kepada dokter untuk mengelola tubuh dan jiwa pasien dengan penuh tanggung jawab, empati, care menjadi penguasa tubuh dan jiwa pasien yang sadar atau tidak menyebabkan semakin dalamnya relasi kuasa hubungan pasien dengan dokter.

Ketiga, kurikulum pendidikan dokter yang sangat sarat dengan pendekatan biomedik (memahami mekanisme penyakit, mengobati, rehabilitasi) hanya memahami penyakit saja, tidak memahami secara mendalam mengenai manusia sebagai individu, apalagi sebagai mahluk sosial.

Harusnya pendidikan dokter sudah bergeser menuju pendekatan biopsikososial dimana aspek psikologis, sosial, ekonomi, budaya dan gaya hidup harus mendapat porsi yang lebih besar dalam kurikulum dokter. Keempat,  banyak dokter merasa bahwa profesionalisme adalah pemberian oleh institusi pendidikan atau organisasi profesi.

Padahal profesionalisme itu adalah pengakuan masyarakat berdasarkan trust yang dibangun melalui kompetensi, otonomi yang dibungkus oleh etik.

Kalau masyarakat tidak percaya lagi, maka masyarakat akan mencabut pengakuan profesional itu dan pada saat itulah profesi akan mengalami krisis berupa menurunnya public trust.

Berbagai peristiwa yang terjadi penyalahgunaan hubungan pasien dengan dokter ini menyebabkan krisis profesi yang semakin memburuk. 

Kajian lebih lanjut dan menarik dari Sosiolog Prancis, Emile Durkheim dalam melihat Patologi Sosial sebagai perilaku negatif yang memainkan peran penting dalam masyarakat untuk menjelaskan aspek lain bagi perilaku yg menyimpang.

Tamparan keras bagi dokter yang bekerja dengan tugas mulia emban misi kemanusiaan patut tetap didukung dan beri semangat, meski di sisi lain prihatin dan berharap kasus ini segera diungkap oleh aparat penegak hukum dan ikut menjaga harkat dan martabat Profesi Dokter tetap jadi yang terbaik ciptakan rasa aman untuk sehat, semoga.(*)

Berita Terkini