Semua dengan senyum dan ketulusan. Keakraban itu, seolah laiknya tetangga di kampung. Padahal, kebersamaan duo dokter asal Makassar dengan 210 jamaah itu, baru lima hari di Madinah.
Di lobi hotel, bahkan ada jamaah berlogat Makassar yang masih sempat berkonsultasi soal susah buang air besar.
"Perbanyak makan buah. Kasi banyak air putih." ujar Dokter Taruna merespon ibu paruh baya itu.
Di lift hotel, justru aku merasa asing. Percakapan ringan, kelakar ala jamaah terjalin laiknya keluarga.
Apalagi rompi seragam petugas PPIH begitu membebani.
Bagi petugas PPIH, ada etika tak tertulis "red code" untuk tidak bergabung di hotel jamaah non-reguler haji khusus di hotel mereka.
Kami hanya didedikasikan melayani jamaah reguler dan non-reguler di situs-situs ibadah, bukan di hotelnya.
Karena beban batin, aku akhirnya membuka seragam petugas.
Kebetulan, di pintu lift, seorang jamaah Tazkiyah ternyata mengenaliku.
Jamaah Tazkiyah itu Dr Sukmawati Firman (53). Dosen ilmu pasti di Universitas Muhammadiyah Makassar, kebetulan kerabat dekat istriku dari Bone.
Saat memilih menu sarapan di western buffet, dia membisikiku dalam bahasa Bugis. "Kenal baikki ternyata dengan Prof Dokter (Taruna).
Jamaah terbantu sekali dengan nasihat-nasihatnya. Banyak pesan agama dalam nasihat mediknya," ujar ibu dua anak itu.
"Lamami sepulang dia dari Amerika, saat dirikan klinik Saga di Makassar." ujarku.
Doktor Sukma, mengaku bersyukur antre dua tahun untuk berhaji bersama Tazkiyah. " Alhamdulillah, Kami khusuk fokus ibadah.
Pendampingan ibadah, kesehatan dan bimbingan spiritualnya cocok sekali." ujar Sukma, yang ikut tabungan haji Tazkiyah, sekaligus menziarahi makam suaminya, Dr Firman Basir Matong, yang meninggal di pelataran Kakbah, enam tahun sebelumnya.