"Penyusunan RUU TNI di luar Prolegnas tanpa memenuhi syarat yang ditentukan dalam pasal 23 UU P3 menciptakan ketidakpastian hukum, karena mengabaikan mekanisme perencanaan yang menjadi dasar dalam pembentukan undang-undang," bunyi permohonan itu. "Ketidakpastian ini berpotensi melemahkan sistem legislasi yang terstruktur serta mengurangi legitimasi produk hukum yang dihasilkan," tulis para pemohon.
Rizal juga menjawab strategi mereka yang menggugat UU TNI meskipun beleid tersebut belum memiliki nomor atau belum diundangkan.
Rizal percaya, meskipun saat ini obyek gugatan belum memiliki nomor, masih ada waktu koreksi atau perbaikan yang diberikan oleh MK.
Misalnya, waktu registrasi berjalan 5-10 hari, kemudian sidang pendahuluan 1 hari, dan sidang perbaikan 14 hari.
"Jadi total lebih dari 30 hari. Sedangkan UU a quo (UU TNI yang baru) pada tanggal 20 Maret disahkan oleh DPR, maka 30 hari wajib diundangkan (diberikan nomor)," katanya.
Di waktu yang sempit itu, mereka akan memperjelas objek gugatan dan berharap MK menerima gugatan mereka.
Pemerintah dan DPR sebelumnya mengesahkan draf revisi UU TNI pada sidang paripurna yang digelar Kamis (20/3).
Surat presiden untuk pembahasan RUU TNI baru diterima DPR sekitar sebulan sebelumnya, 18 Februari 2025.
Pembahasan RUU TNI menimbulkan protes di masyarakat karena dilakukan terburu-buru dan tertutup. DPR dan pemerintah sempat menggelar pembahasan tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta, Minggu (16/3).
Sejumlah aksi unjuk rasa menolak RUU TNI digelar di berbagai daerah selama pekan ini.
Namun, pemerintah dan DPR tetap mengesahkan regulasi itu.
Adapun RUU TNI yang ditolak banyak pihak itu mencakup perubahan empat pasal, yakni Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 15 soal tugas pokok TNI, Pasal 53 soal usia pensiun prajurit.
Serta Pasal 47 berkait dengan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil.(tribun network/mar/dod)