Sesaat setelah dipersaudarakan oleh Nabi, Saad bin Rabi berkata kepada Abdurrahman bin Auf “Aku termasuk orang kaya. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya”.
Mendengar pernyataan saudaranya itu, Abdurrahman menjawab “Tunjukkan saja pasar saya akan berdagang.”
Lalu Saad bin Rabi menunjukkan pasar Qainuqa’.
Mulai saat itu, Abdurrahman bin Auf berdagang dan berhasil menjadi orang masuk dalam deratan orang kaya di Madinah.
Mencintai saudara sama cintanya dengan diri kita adalah bukti keimanan sebagaimana hadis yang disampaikan Anas bin Malik.
Nabi bersabda “Tidaklah beriman di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya” (HR. Bukahri dan Muslim).
Hubungan persaudaraan tak harus melalui nasab keturunan, namun ada pula karena ikatan ideologi dan semangat yang dibangun bersama.
Persaudaraan yang diberkahi bila dibina dengan keihklasan tanpa pamrih, saling membutuhkan di kala tengah dalam masalah untuk berbagi secara material maupun nonmaterial.
Persaudaraan yang sejati dibangun atas kerelaan dan kebanggaan melepaskan masalah yang dialami saudaranya.
Ibarat bila kuku panjang, yang dipotong adalah kuku bukan jarinya. Begitu juga bila ada masalah sesama saudara, yang dibuang adalah masalahnya bukan silaturahmi persahabatan atau persaudaraannya.
Saudara bisa dari kata seudara, sama-sama menghirup udara yang sama.
Orang bugis menyebut dengan ‘silessureng’ secara harfiyah bermakna saling baku jaga, bisa juga maknanya saling kembali. Orang Makassar menyebutnya ‘sarebattang’ artinya satu perut, satu rahim. Demikian cinta yang dibangun karena persaudaraan.(*)