Hanya untuk menshock sebenarnya kalau memang butuh, silakan dipakai. Namun, dipakai secara benar.
“Jadi Rp 50 triliun tidak seberapa karena efisiensi yang dimaksud adalah operasional dan non operasional. Sekurang kurangnya operasional perkantoran,” bebernya.
Pria kelahiran Makassar menuturkan, jika melihat APBD 10 tahun lalu, unit dan dinas dalam Menyusun RAPBD pasti ada yang membangun pagar,
Hal ini terjadi karena RAPBD itu dicopy paste. Tidak berpikir untuk merencanakan anggaran.
“Inilah lemak-lemak dalam ekonomi, dalam anggaran, yang mestinya cukup untuk menghidupi bangsa ini, tapi terbuang jadi sampah yang disebut inefisiensi,” tuturnya.
Prof Hamid juga mengulas terkait belanja pemeliharaan yang cukup besar. Misalnya, pemeliharaan jalan.
Akan tetapi, jalan tidak pernah dinikmati baik. Baru sebulan diperbaiki, lubang lagi. Hal tersebut sudah terjadi dari 20 tahun lalu dan sampai sekarang tidak ada berubah.
“Artinya ada yang salah, ada sistem yang salah. Uang mestinya cukup. Makanya ini dikoreksi supaya orang berpikir dari pusat ke daerah, dana belanja, dana pemeliharaan sudah cukup asalkan benar-benar digunakan secara baik,” paparnya.
Prof Hamid menyebut, pemangkasan di sektor infrastruktur yang dimaksud bukan fokus pada pertumbuhan ekonomi. Melainkan usulan infrastruktur yang banyak dari daerah, seperti ketika anggota DPR/DPRD reses dengan konstituennya.
Usulan infrastruktur ini dipaksakan semua masuk, di lain sisi uang terbatas. Mestinya ini dirapikan, bertahap dilakukan.
“Inilah yang mau dipangkas. Apakah akan berdampak, pasti akan dihitung,” sebutnya.
Sementara kalau untuk konstruksi, ungkap dia, Rp 80 triliun yang dipangkas bukan konstruksi semua.
Itu nantinya akan diganti ke BUMN untuk melaksanakan infrastruktur dengan modal sendiri atau modal swasta. Dengan begitu memberi peluang pihak swasta untuk ikut pembangunan.
“Kenapa swasta, karena logikanya kalau swasta lebih efisien. Tidak berpikir untuk boros karena uang sendiri,” pungkasnya. (*)