Oleh: Inosensius Enryco Mokos, M. I. Kom
Peneliti Komunikasi Pendidikan, Politik, Publik dan Budaya
TRIBUN-TIMUR.COM - DALAM beberapa hari ini, muncul pemberitaan yang sangat menarik di media sosial terutama yang diberitakan oleh hampir semua media Indonesia terkait pernyataan kepala Badan Gizi Nasional soal menu makan untuk program MBG.
Lewat instruksi Presiden untuk bisa menghemat anggaran untuk program MBG, Kepala BGN mengeluarkan pernyataan bahwa menu makan untuk program MBG bisa diganti dengan alternatif menu makanan seperti ulat, serangga dan belalang seperti kebiasaan makanan masyarakat di daerah. Ini pernyataan yang sangat menggelitik yang datang dari Kepala Badan Gizi Nasional.
Mengingat bahwa program MBG ini adalah program unggulan dari Pemerintahan saat ini, maka pernyataan dari Kepala BGN itu tentu menimbulkan reaksi yang luar biasa dari kalangan masyarakat.
Masyarakat tentu bertanya-tanya tentang perubahan menu makan ini apakah nanti akan dieksekusi atau tidak atau hanya sekedar informasi saran yang sengaja dilempar untuk melihat reaksi masyarakat.
Ada pertanyaan besar dari pernyataan kepala BGN ini bahwa apakah kualitas dari menu makanan dari berbagai hewan yang disebutkan itu bagus dan sama seperti kualitas makanan yang datang dari daging ayam atau sapi?
Tentu perlu untuk dibahas apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan oleh Kepala BGN mengenai usulan untuk mengganti menu makanan dalam MBG dengan ulat serangga dan belalang yang cukup aneh ini.
Makanan Daerah
Tentu munculnya usulan untuk mengganti menu makanan dalam MBG itu karena faktor arahan dari Presiden untuk bisa menghemat anggaran dalam program MBG.
Anggaran itu harus dihemat untuk bisa mengalokasikannya secara merata untuk seluruh sekolah di Indonesia agar program MBG ini dapat berjalan dengan baik dan tercapai maksud dari MBG ini memberikan kualitas gizi dan kesehatan yang memadai bagi seluruh anak di Indonesia.
Dari sinilah dicari alternatif untuk mengganti atau menyesuaikan menu makanannya dengan bahan-bahan pokok yang ada di daerah masing-masing sehingga bisa menghemat anggaran yang dikeluarkan.
Namun, yang tidak disadari adalah bahwa usulan untuk mengganti makanan dengan bahan-bahan pokok dari daerah masing-masing itu menjadi tidak relevan untuk semua anak di Indonesia atau juga untuk anak-anak di daerah masing-masing.
Misalnya saja, untuk di daerah, menu makanan nya diganti dengan ubi, sayurnya diganti daun kelor atau daun singkong, atau juga nasinya diganti dengan jagung daerah.
Adakah jaminan bahwa menu makanan yang diganti dengan makan daerah ini dapat diterima oleh semua siswa di daerah? Tentu tidak ada jaminan.
Semua siswa di Indonesia misalnya, ketika pertama kali dilaksanakan MBG ini, ada banyak keluhan yang datang dari siswa-siswi mengenai menu makanan, ada yang bilang daging ayamnya keras, tidak ada rasa, hambar dan sebagainya.
Jadi jika diganti lagi dengan menu makanan daerah, apakah siswa-siswi itu akan tertarik untuk menyantap makanan itu, atau justru nanti tidak akan dimakan dan akhirnya akan menjadi sampah dan menambah masalah baru.
Yang perlu diingat bahwa, tidak semua anaka-anak atau siswa di daerah pernah dan suka makan makanan daerah.
Apalagi anak-anak generasi Z dan anak-anak generasi alpha yang sekarang ini menjadi target program MBG ini.
Dari menu makanan ayam, telur, sayur, tempe, tahu dan nasi saja masih ada pengakuan dari mereka tidak menyukai, apalagi makanan dari olahan bahan pokok daerah yang mungkin jarang mereka makan.
Sampai di sini, jika saja anjuran untuk mengganti menu makanan dengan bahan-bahan pokok dari daerah masing-masing dieksekusi, pastinya bisa jadi akan ada banyak penolakan.
Penolakkan itu bisa dari segi gizi yang belum tentu memadai, belum teruji kandungan gizinya dan lebih lagi yang penting siswa-siswi bisa menolak untuk menyantap makanan tersebut.
Ini malah menjadi bumerang untuk program MBG ini sendiri dan akan menjadi bahan kritikan untuk pemerintah yang menjalankan program MBG.
Yang terjadi justru, gizi dan kesehatan tidak didapatkan, yang ada food waste dan sampah makanan yang akan bertambah.
Yang Penting Makan?
Ketika berhadapan dengan situasi seperti ini, pertanyaan besar yang akan muncul dalam benak setiap masyarakat Indonesia adalah bahwa apakah pemerintah benar serius dengan program MBG ini, atau pemerintah cuman merasa yang penting kasih makan saja siswa-siswinya?
Dari carut marut anggaran makanan yang pertama kali dianggarkan adalah 15.000 rupiah, kemudian turun menjadi 10.000 ribu rupiah.
Dari anggaran 10.000 itu saja sudah banyak pertanyaan besar dari para ahli gizi apakah menu yang disajikan akan berkualitas
untuk kesehatan anak-anak atau tidak.
Ini muncul lagi usulan untuk menggantinya dengan menu makanan dari bahan-bahan pokok daerah yang bisa jadi sekarang ini harganya sedang melambung tinggi di daerah masing-masing karena kurangnya ketersediaan barang dan bahan.
Sampai di sini, pemerintah jangan hanya berusaha untuk menjadikan program ini tetap bisa jalan dengan memberikan makanan yang tidak berkualitas, yang penting makan saja dan disantap oleh anak-anak.
Padahal mungkin menu makanan nya pun tidak akan dimakan oleh anak-anak.
Masyarakat pasti menuntut keseriusan dan komitmen dari pemerintah untuk eksekusi program MBG ini dan tentu sekarang ini tanggung jawab itu sedang dipertaruhkan.
Anggaran yang besar dari program MBG harus jelas dipakai dengan benar dan juga harus ada transparansi dan akuntabel dalam proses eksekusinya.
Untuk menu makanan dari program MBG ini sebaiknya tetap pada menu makan yang sama di seluruh Indonesia sehingga bisa menjadi patokan dan dasar bahwa seluruh anak di Indonesia akan mau menyantap makanan tersebut.
Jika menjadikan makanan daerah sebagai menu baru bisa jadi ditolak oleh anak-anak.
Pemerintah bisa bekerja sama dengan lembaga kesehatan, universitas dan lembaga non pemerintah lain untuk bisa secara bersama-sama mencari solusi terbaik menemukan menu makanan yang terbaik dengan anggaran yang disediakan.
Jangan berpegang pada prinsip yang penting makan karena kepercayaan masyarakat sedang dipertaruhkan.
Dengan melibatkan banyak pihak untuk menentukan gizi dan kualitas makanan dari nasi, ayam, ikan, sayur tempe dan tahu atau juga bisa telur sehingga keterjaminan kualitas gizi yang didapatkan oleh anak-anak dapat tercapai.
Juga dengan kolaborasi untuk membuat citarasa makanan menjadi enak dan lezat akan membuat anak-anak menyantap makanan yang disajikan.
Semua itu demi menciptakan anak-anak Indonesia yang unggul dan sehat demi masa depan Indonesia Emas di tahun 2045. Semoga!