Oleh: Herman Kajang
Peneliti Kopel Indonesia
TRIBUN-TIMUR.COM - Pak Yandri Susanto, Saya warga negara Pak tinggal di Makassar.
Saya dengar baru dua hari Bapak duduk di kursi Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, tapi sudah membuat publik geger.
Undangan haul keluarga dan tasyakuran, dibungkus dengan kop surat resmi dan stemple kementerian? Ini serius, Pak?
Kami tahu jabatan menteri pasti bikin semangat, tapi apakah secepat itu Bapak lupa bedanya antara fasilitas negara dan urusan pribadi?
Kalau haul keluarga saja sudah dianggap sepenting itu sampai harus mengundang kepala desa, sekretaris desa, PKK, ketua RT, dan RW dengan stempel kementerian, bagaimana Bapak bisa diharapkan menyelesaikan masalah ribuan desa tertinggal yang jelas-jelas jauh lebih urgen daripada acara tasyakuran? Atau mungkin bagi Bapak, persoalan tasyakuran lebih "mendesak"?
Pak Menteri, Ini Bukan Warung Keluarga!
Mari saya ingatkan, Pak. Kursi yang Bapak duduki itu bukan milik keluarga Bapak, apalagi undang-undang jelas melarang penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Kalau kop surat kementerian dipakai untuk undang keluarga, tasyakuran, dan haul, apa Bapak pikir ini hanya kesalahan kecil?
Ini bukan soal sepele, ini soal integritas, Pak! Apa gunanya bicara soal "membangun desa" kalau dasar etika jabatan saja sudah Bapak abaikan di awal?
Baru Dua Hari, Sudah Pamer Pelanggaran
Kami sebagai rakyat tak minta banyak, Pak. Cukup minta Bapak fokus pada pekerjaan yang diamanahkan.
Jabatannya Menteri Desa, bukan EO tasyakuran pribadi. Apalagi, Bapak baru dua hari menjabat!
Kalau di hari kedua saja sudah seperti ini, apa yang bisa kami harapkan di hari-hari berikutnya?
Apakah nanti seluruh kementerian akan dipakai untuk acara keluarga lain? Tasyakuran, syukuran kelulusan ponakan, mungkin sampai arisan besar keluarga?
Kami paham, mungkin Bapak terbawa euforia, merasa bebas berkuasa setelah jadi menteri.
Tapi Bapak tahu, kan, jabatan itu bukan barang mainan? Setiap tindakan Bapak diawasi oleh publik.
Kalau soal sesederhana undangan saja Bapak bisa blunder, bagaimana dengan keputusan-keputusan yang lebih besar di kemudian hari?
Pak Menteri, Negara Bukan Panggung Pribadi
Etika publik itu bukan pajangan, Pak. Sebagai menteri, tugas Bapak melayani masyarakat, bukan memanfaatkan fasilitas negara untuk acara keluarga.
Penggunaan kop surat kementerian untuk urusan pribadi adalah pelanggaran yang mencolok, dan ini bukan pelajaran pertama yang seharusnya Bapak dapatkan dalam dua hari menjabat.
Tapi ya, mungkin Bapak anggap ini hal kecil. Toh, siapa yang berani menegur, kan?
Mungkin bagi Bapak, undangan haul ini cuma soal selembar kertas. Tapi di mata kami, ini adalah tanda bagaimana Bapak memandang jabatan yang diberikan.
Sebuah jabatan yang seharusnya digunakan untuk bekerja demi kemaslahatan masyarakat desa, tapi malah diseret ke urusan keluarga Bapak.
Kami berharap, mungkin terlalu berharap, agar Bapak segera sadar bahwa negara ini bukan milik pribadi, dan jabatan Bapak bukan sekadar panggung tasyakuran.
Pak Menteri, Fokus di Desa, Bukan di Meja Tasyakuran!
Pak Yandri, ribuan desa di Indonesia sedang menunggu kebijakan yang solutif. Mereka butuh jalan yang layak, akses listrik, air bersih, dan perhatian yang nyata dari pemerintah.
Tapi jika di awal kepemimpinan Bapak sudah salah langkah, bagaimana kami bisa berharap perbaikan untuk desa-desa itu? Atau jangan-jangan, urusan desa akan terus menunggu sampai semua acara haul keluarga Bapak selesai?
Kalau memang Bapak lebih tertarik mengurus tasyakuran daripada desa-desa tertinggal, mungkin ada baiknya dipikirkan kembali: Apakah jabatan menteri benar-benar pilihan yang tepat untuk Bapak? Jangan sampai, Bapak lebih sibuk bikin undangan haul daripada menjalankan tugas negara.
Pak Menteri, ini bukan sekadar masalah teknis atau administratif, ini soal moral. Kementerian Desa bukan panggung keluarga Bapak, dan jabatan menteri bukan alat untuk mendongkrak urusan pribadi.
Kami, rakyat biasa, menanti dengan harapan besar. Semoga Bapak segera paham bahwa jabatan publik itu untuk melayani, bukan untuk dipakai semaunya.
Sebelum acara haul berikutnya, tolong ingatkan diri sendiri, Pak: desa-desa tertinggal yang menjadi tanggung jawab Bapak jauh lebih penting dari urusan tasyakuran.