Berbekal pengalaman dua Periode Bupati di Kabupaten dengan Daftar Pemilih Tetap terbesar kedua di Sulawesi Selatan, juga tetap tak mampu membuat parpol secara sukarela menggaetnya untuk membangun demokrasi yang lebih dinamis di Pilkada 2024 ini.
Meskipun kita mafhum bahwa tak ada yang gratisan di perhelatan akbar kedua setelah pileg dan pilpres tahun ini.
Publik dalam diamnya juga pasti tahu, apa yang menjadi penyebab tokoh muda yang telah menasional ini kehilangan kesempatan berkompetisi di 27 November nanti.
Ini semacam fenomenologis dari kesadaran kesamaan momen yang terjadi pada Sanders dimana setali tiga uang juga dialami Adnan IYL.
Demikian juga dengan para calon berpengalaman mumpuni lainnya, mereka seolah tak mampu melewati beratnya masuk dalam ruang elit pusat yang jauh-jauh hari telah memiliki dan mempersiapkan dengan matang calon di lingkaran terdalam mereka sendiri.
Reinterpretasi Ulang
Tak salah dan itu fakta, ketika ada sejumlah alasan sosial ekstra-ilmiah yang menegaskan dominasi selatan-selatan selama 20 tahun terakhir yang sangat signifikan.
Ini terlihat dengan kemampuan wilayah geo-politik ini melahirkan satu periode Wakil Gubernur, serta tiga kali keterpilihan Gubernur setelahnya.
Saat ini, apakah mungkin sudah saatnya penginterpretasian ulang geo-politik selatan-selatan? setelah dua dekade pasca reformasi selalu menjadi ‘ancaman’ tersendiri saat berhadapan dengan calon dari sektor Utara.
Absennya selatan-selatan di Pilgub 2024 ini, dalam pikiran sepintas kita, seolah ada pengaruh dari
Sebuah kecenderungan sistem yang dalam beberapa tahun terakhir yang terkesan dibangun di atas dominasi personal.
Disaat tindakan politik dikontrol oleh kekuasaan, lalu diregulasi lewat tatanan otoritas warna parpol dan warna lembaga tertentu.
Kemudian endingnya berupa prinsip nilai kekuasaan politis, yang pengambilan keputusannya berada dalam standar koordinasi, pengawasan yang cukup melekat, hingga terkesan ada rasa-rasa pola “injak kaki”, agar yang berbeda pilihan tak banyak melakukan gerakan tambahan.
Jika gerakan tambahannya meningkat, meski sebatas berbentuk aktivitas sederhana, namun itu masih terlihat akan berpotensi mengganggu, maka fiks, tiket sebatas menjadi penonton di luar arena pemilihan resmi person bacalon akan didapatkannya jauh sebelum pertandingan dimulai.
Atau apakah mungkin ada semacam invisible hand yang hendak membuat sebuah legacy di tanah ini? Dan tangan tersembunyi ini seolah telah berhasil mengatur ritme dan alur politik sesuai dengan kehendaknya. Entahlah!