Dalam sejarah para raja, hanya ada dua jenis raja yang banyak diungkap oleh sejarawan, yaitu raja adil dan raja zalim.
Dan banyak faktor yang menjadikan seorang raja menjadi zalim, namun yang tertinggi adalah ketiadaan ilmu pengetahuan, atau karena jahil, alias bodoh, disebut juga dungu, dalam bahasa Bugis dongo’. Sejak dahulu kala, bahkan pada zaman klasik era Socrates (w. 399 S.M), berkesimpulan bahwa kemuliaan tertinggi adalah ilmu, dan segala jenis kejahatan yang terjadi karena kebodohan.
Kita berbeda beberapa hal, terkait penyebab terjadinya kejahatan di bumi ini—sebab banyak juga kejahatan terjadi karena orang-orang berilmu—tetapi, kita harus sepakat bahwa ‘kebaikan tidak mungkin wujud tanpa ilmu, walaupun ilmu tidak menjamin secara otomatis pemiliknya berlaku baik’, (Wan Mohd Nor Wan Daud, Himpunan Karya Pilihan. Kuala Lumpur, 2022: 221).
Dungu sudah pasti zalim, sebab kedunguan akan melahirkan tindakan kezaliman.
Dan zalim secara bahasa adalah ‘meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya’ antitesa dari adil ‘yang meletakkan sesuatu pada tempatnya, wadh’u asy-sya’i fī mahallihi’.
Itu terjadi karena raja dungu tidak paham mana yang baik dan mana yang buruk, dan sudah pasti tidak mengerti klasifikasi hukum agama: wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh.
Akhirnya, karena kedunguannya, yang wajib dijadikan makruh yang haram dijadikan sunnah. Celakanya lagi, jika raja dungu berkuasa, ia akan menarik semua orang dungu untuk menjadi pembantunya mulai dari penasihat hingga kalangan menteri dan kepala daerah, mereka selanjutnya akan melaksanakan kedunguan berdasarkan titah raja dungu, akhirnya keputusan para menteri dan para pembantunya sarat dengan kesia-siaan bahkan kerusakan berkepanjangan.
Kita dapat buktikan bahwa raja adil atau tidak dungu sudah pasti sarat dengan ilmu, dan semua keputusan-keputusannya penuh dengan pertimbangan ilmu pengetahuan sehingga melahirkan keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Orientalis pakar historiografi Melayu, Denisova menjelaskan ciri-ciri raja adil yang ada pada dunia Melayu-Nusantara sejak abad ke-13 hingga abad ke-19, jika melihat pada kitab Tuhfah an-Nafīs.
Bahwa sifat-sifat ‘raja adil’ dapat dirujuk seperti berikut: rupa yang baik, suara yang hebat, budi dan adab yang baik, bahasa yang ikhlas, berani, pahlawan [syahid fī sabilillāh], pemurah, sabar, bijaksana, sederhana [rendah hati], dan asal-usul yang jelas.
Raja adil perlu pandai dalam ilmu ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tentara [peperangan], perniagaan, pemerintahan negara dan perundingan.
Raja adil wajib memerintah negeri dengan adil, menghukum secara adil mengikut undang-undang, mengampunkan dosa, bermusyawarah dan bermufakat dengan orang alim.
Memelihara negeri, mengukuhkan negeri, mengawal negeri, meramaikan/membanyakkan negeri, membaiki negeri, memelihara rakyat dan semua isi negara, memelihara harta benda orang, membenci orang jahat.
Meramaikan/memperbanyak perniagaan, mengaturkan rezeki, mengaturkan orang besar-besar, menjaga semua orang besar-besar dan pegawai supaya mereka tidak berbuat jahat terhadap rakyat, jangan tamak akan harta orang dan jangan tamak akan harta dunia.
Dalam bidang agama, raja adil wajib menaati Allah, mengikuti sabda Nabi Muhammad, mengukuhkan agama, membela Islam, berbuat ibadat, melaksanakan amalan secara baik-baik, jangan menukar agama dengan dunia, menuntut ilmu, membangunkan masjid, mengukuhkan akhlak dan mengikuti tarekat, (Tatiana A. Denisova, Refleksi Historiografi Alam Melayu. Kuala Lumpur, 2011: 154).