TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Lembaga negara kini saling sikut soal konstitusi.
Menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), campur aduk kebutuhan ditengarai ada di balik meja.
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi (MK) hingga DPR RI memilih putusan masing-masing.
Banyak pihak berlomba-lomba berdoa dengan keinginan yang sama.
Narasinya, dewi fortuna diarahkan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok.
"Kita sering mengabaikan aspek doa, padahal untuk keberhasilan usaha ada tig. Ikhtiar, doa dan keyakinan. Dari perspektif ini, ada problem yaitu kalau dua-duanya gunakan doa," kata Akademisi Prof Mustari Mustafa dalam Diskusi Forum Dosen di Kantor Tribun Timur, Jl Cendrawasih, Makassar, Kamis (22/8/2024).
"Dipihak sana gunakan doa sama, ya tuhan kami ingin yang diikuti sesuai yang diinginkan. Disebelah juga di kubu satu juga menginginkan doa yang sama. Doa mana yang diterima ini problem," lanjutnya.
Menilik faktor usaha dan niat, maka kebaikan jadi pembeda.
Baca juga: Selangkah Lagi Pemerintah di Jalan Buntu, Amir Muhiddin Menakar Gerakan Masyarakat
Prof Mustari Mustafa menyebut ada kriteria terkait kebenaran hakiki.
Hal itu diperoleh apabila memiliki unsur kebaikan.
"Kebenaran akan menyentuh aspek hakiki apabila mengandung unsur kebaikan. Kebaikan biasanya bersandar norma adat istiadat atau nurani atau aspirasi publik," jelas Prof Mustari.
"Karena di sana tumbuh moralitas publik. Dari aspek ini, kita melihat publik ingin agar kebaikan harus senantiasa berorientasi sekaligus inspirasi. Kita berharap inspirasi tumbuhnya moralitas publik diridhoi dan dimenangkan," lanjutnya.
Sejauh ini, perubahan besar dinilai paling menyentuh kelompok muda.
Sebab gerakan perubahan anak muda berdasar pada nurani dan aspirasi publik.
"Saat ini kita berharap kelompok sekarang bisa tersentuh, diberikan ilham, agar dengan gerakan serentak mereka berubah," jelasnya.
Diketahui, MK sudah mengeluarkan dua putusan yakni No.60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Putusan MK 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Sementara putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah.
Batas usia ini dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Putusan ini pun menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung sebelumnya. MA menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.
Baleg DPR RI merespon cepat putusan MK dengan melanjutkan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada.
Dua materi krusial RUU Pilkada disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada itu.
Pertama pada pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.
Kemudian perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan MK yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada.(*)
Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, Faqih Imtiyaaz