Opini Aswar Hasan

Opini Aswar Hasan: Merdeka tapi Belum Sesungguhnya

Editor: AS Kambie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aswar Hasan, Dosen Fisipol Unhas

Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Laporan utama Harian Kompas dalam edisi khususnya tentang menyongsong HUT Kemerdekaan RI mempertanyakan hakekat kemerdekaan dengan pertanyaan mendasar: “Sudahkah terbentuk Pemerintah Negara RI yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial itu? Atau, malah sebaliknya, menciptakan ekosistem yang memudahkan terjadinya eksploitasi manusia oleh manusia lain”.

Karena menjadi merdeka bukan hanya melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tetapi hidup dengan cara yang menghargai dan meningkatkan kebebasan orang lain,” kata Nelson Mandela, tokoh revolusioner anti apartheid.

Pertanyaannya, apakah di HUT Kemerdekaan RI yang ke 79 ini kemedekaan itu telah kita nikmati sebagai rakyat Indonesia ? 

Jawabannya boleh jadi baru sebagian bangsa ini yang menikmatinya sementara sebagian terbesar bangsa ini belum menikmatinya terutama kekayaan alamnya, kecuali kaum oligarki dan elite politik di negeri ini.

Bung Karno pernah berkata; "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri"

Maksud Soekarno lewat ucapan itu yakni mengingatkan ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia setelah merdeka. 

Ketika di bawah penjajahan, musuh terbesar bangsa adalah penjajah. Penjajah menjadi musuh bersama. 

Namun setelah penjajah pergi, bangsa Indonesia akan dihadapkan pada berbagai masalah. 

Utamanya soal persatuan. Berbagai cobaan dan masalah mulai dari masalah sosial, masalah ekonomi, dan berbagai masalah lainnya, akan menguji persatuan bangsa (Kompas, 10/8-2020).

Kata Sikidi Pemikir Kebhinekan di Kompas (15/8-2024): “Kemerdekaan sejatinya menandai kemenangan jiwa manusia yang merdeka atas banalitas keserakahan, otoritarianisme, dan kejahatan kolonial.

Hampir 79 tahun merdeka, warisan kolonial yang tak berperikemanusiaan itu justru dipraktikkan dan dirutinkan penguasa bermental kolonial sebagai suatu kebiasaan yang normal.

Lebih lanjut kata Sukidi, Apa yang kita lawan bersama-sama bukan hanya sisi keburukan moral keserakahan yang merasuk ke dalam jiwa penguasa yang tak merdeka, melainkan juga sisi kenormalan keserakahan yang merusak tatanan moral dalam republik.

Keserakahan yang dinormalisasikan sebagai kewajaran tampak pada perilaku penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan, bukan hanya sebagai alat intimidasi dan sandera politik, melainkan juga sebagai bentuk kolonialisme baru terhadap kebebasan elite politik dan kedaulatan partai.

Tidak salah kata Sukidi bahwa kita saat ini, bukannya merdeka sepenuhnya. Misteri kita sedang menghadapi dan dijajah oleh bangsa sendiri yang bermental kolonialisme. 

Oleh sebab itu, kata Sukidi, peringatan kemerdekaan ini seharusnya membangkitkan perjuangan melawan banalitas kejahatan (the banality of evil). 

Halaman
12

Berita Terkini