TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Demo mahasiswa di depan Kampus Universitas Muhammadiyah, Jl Sultan Alauddin, Makassar, dibubarkan paksa polisi, Senin (8/7/2024) sore.
Mulanya, demo berlangsung lancar dengan diwarnai aksi bakar ban dan orasi.
Selang beberapa saat, massa aksi menahan truk kontainer lalu dijadikan panggung orasi.
Akibatnya, kemacetan panjang pun tidak terhindarkan di ruas poros Makassar-Gowa.
Melihat kemacetan panjang terjadi, aparat kepolisian beberapa kali mengupayakan agar massa aksi meloloskan truk kontainer menutup badan jalan.
Namun upaya itu tidak diindahkan, hingga personel kepolisian berseragam dinas membubarkan paksa aksi.
Dalam rekaman video diperoleh, saat pembubaran, beberapa mahasiswa mencoba kabur dari sergapan polisi.
Baca juga: Viral Oknum Polisi Dilapor ke Propam Polda Sulsel, Diduga Telantarkan Istri dan 3 Anak
Namun, upayanya kabur gagal karena berhasil diringkus lalu diamankan.
Terlihat juga seorang polisi tergeletak di badan jalan dan harus dibopong oleh rekannya.
"Iya dibubarkan karena menutup jalan. ada korban anggota itu sudah di bawah ke RS (Bhayangkara)," kata Kasi Humas Polrestabes Makassar AKP Wahiduddin dikonfirmasi wartawan.
Dirinya mengaku belum mengetahui persis penyebab anggota Polri itu tergeletak di badan jalan.
Demo lainnya di Makassar hari ini:
Aliansi Mahasiswa dan Buruh Bersatu (AMBB) menggelar aksi protes besar-besaran menuntut pencabutan Undang-Undang (UU) Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober 2020.
Aksi tersebut disuarakan di depan kantor DPRD Provinsi Sulsel, Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Senin (8/7/2024) siang.
Dalam aksi tersebut, mereka menyuarakan bahwa UU ini merupakan bentuk penjajahan modern oleh pemerintah terhadap rakyatnya, terutama kaum buruh.
Menurut koordinator aksi Taufiq, UU Cipta Kerja telah banyak merugikan rakyat dan mendegradasi hak-hak pekerja.
Mereka menyoroti bahwa banyak pasal dan peraturan pemerintah (PP) turunan dari UU ini yang justru melegalkan praktik-praktik yang merugikan buruh.
Hal ini membuat mereka terpuruk dan semakin jauh dari kesejahteraan.
"Sejak disahkannya UU ini, kami telah menyaksikan bagaimana hak-hak buruh terus diabaikan. Pemerintah seolah tidak menjalankan amanah UUD 1945, terutama pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak," tegasnya.
Berikut pernyataan sikap pengunjuk rasa terkait penolakan UU Omnibus Law
UU Omnibus Law atau a Cipta Kerja yang telah disahkan pada tanggal 05 Oktober 2020, merupakan bentuk atau upaya pemerintah dalam melakukan penjajahan modern terhadap rakyatnya.
Sejak ditetapkannya UU ini sudah sangat banyak merugikan rakyat terutama kaum buruh.
Di mana UU ini telah mendegradasi hak-hak buruh/pekerja.
Banyaknya pasal-pasal dan juga dd turunan yang melegalkan penerapan UU Cipta Kerja yang membuat buruh pekerja saat ini berada dalam keterpurukan dan semakin Jauh dari kata sejahtera.
UU Cipta Kerja beserta PP turunannya kini mencerminkan bahwa pemerintah saat ini tidak lagi menjalankan Amanah UUD 1945 sebagaimana yang termaktub pada pasal 27 Ayat N UUD 1945.
Yaitu 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak'.
Lalu pertanyaannya, seperti apakah kehidupan yang layak?
Untuk memperoleh kehidupan yang layak maka harus di barengi dengan perolehan upah yang layak pula.
Namun, sejak 2 tahun terakhir ini upah buruh hanya mengalami kenaikan di bawah kenaikan inflasi.
Dengan adanya PP 51 Tahun 2023 yang kemudian melegalkan PP 36 yang telah direvisi berdampak pada perhitungan kenaikan upah yang sangat merugikan buruh bahkan jauh dari kata layak.
Penetapan upah minimum tersebut mengacu pada PP Nomor 51 Tahun 2023 dianggap lebih memberikan proteksi kepada pengusaha daripada kaum buruh / pekerja.
Padahal negara seharusnya memproteksi hak-hak kaum buruh sebagai elemen masyarakat yang lemah.
Bagi kaum buruh, hal-hal strategis ini mencakup antara lain, soal pengupahan, PKWT soal Outsourching, soal pesangon, soal PHK, soal tenaga kerja asing dan pengaturan mengenai hari kerja dan cuti.
Dengan demikian, implikasi dari seluruh aturan-aturan
terkait hal-hal tersebut harus tetap merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan PP 78 Tentang Pengupahan.
Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dasar aats penolakan para buruh.
Untuk itu kami dari Aliansi Mahasiswa dan Buruh Bersatu (AMBB) menyatakan sikap:
1. Cabut Omnibus Law - UU No. 6 Tentang Cipta Kerja
2. Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah.