Kedua, investasi tak boleh menjadi hijab bagi terselenggaranya “pelayanan Makassar” dengan seluruh komponen warga yang bergulat didalamnya.
“Melayani Makassar” harus dikonsentrasikan pula dalam gerak pembangunan.
Lantas, bagaimana konsepsi “melayani Makassar” yang dimaksud? Tulisan terbatas ini hendak menjelaskannya dengan ringkas.
Gagasan “Melayani Makassar” bertolak dari makna dasar demokrasi, bahwa rakyat sebagai pemangku kedaulatan.
Pilkada adalah mandat rakyat pada calon wali kota/wakil wali kota.
Ketika sang calon wali kota/wakil wali kota terpilih, maka mutlak harus melayani seluruh komponen Makassar, dalam hal ini warga dan kota ini. Artinya, “melayani Makassar” adalah aksi timbal balik mandat itu.
Maka seluruh perangkat Pemkot Makassar harus diorganisir untuk terwujudnya “melayani Makassar”.
Birokarasi kota, harus diorentasikan untuk “melayani Makassar”. Bukan melayani atasan.
Begitupun dengan perumusan kebijakan regulatif kota, harus dirumuskan berdasarkan kebutuhan warga kota. Untuk memastikan itu, maka pemerintah kota harus mengkomunikasikan rencana-rencana kebijakan yang hendak dirumuskan dengan seluruh komponen warga.
Disitu ruang dialog dibuka untuk memberi input-input terhadap rumusan kebijakan yang dirancang. Lalu apa instrumennya?
Perangkat kelurahan mesti bergerak untuk mengkomunikasikan itu di lapis bawah.
Sementara di lapis bawah, perlu menumbukan “forum warga kota” disetiap RT/RW.
Forum ini menghimpun warga untuk menjadi warga negara aktif dalam kehidupan berkota. Forum ini akan menjadi ruang belajar, ruang dialog antara warga dan pemerintah kota tentang berbagai persoalan warga, dan sebagai ruang penguatan produktifitas ekonomi warga.
Warga kaya, warga tak mampu dan unsur pemerintah kota mesti duduk bersama di dalam forum warga ini.
Dengan demikian, “melayani Makassar” merupakan sebuah agenda pembangunan tata kelolah pemerintahan lokal kota yang demokratis.