”Beliau hanya berpesan ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo (jangan lupa, jangan sombong, jangan memaksakan diri kalau tak mampu)."
"Pak Harto lantas memegang kepala saya, seperti biasa dia lakukan terhadap anak, cucu, dan orang yang disayanginya seraya mempersilakan saya berangkat,” cerita Prabowo.
Pertemuan tidak sampai lima menit.
Momen pahit kehilangan komandan
Prabowo, salah seorang prajurit Kopassus dari TNI AD, terlibat dalam Operasi Seroja di Timor Timur.
Selama operasi ini, Prabowo menjadi saksi dari kehilangan rekan-rekan sejawatnya.
Salah satu momen pahit dalam pengalamannya adalah kehilangan Letnan Satu Sudaryanto, yang merupakan komandannya di Unit C Pasukan Nanggala 10, setelah Sudaryanto tertembak oleh musuh.
Dalam bukunya yang berjudul "Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto," Prabowo menceritakan peristiwa tersebut.
Pada saat itu, Prabowo bergabung dengan pasukan Nanggala 10 di bawah komando Mayor Inf Yunus Yosfiah sebagai perwira intelijen.
Akibat banyaknya perwira yang terluka, Prabowo kemudian diangkat menjadi Wakil Komandan (Wadan) Unit C.
Ketika pasukan mereka merebut posisi di atas Kota Maubara, mereka tiba-tiba diserang secara mendadak oleh kelompok bersenjata Fretilin dari arah barat. Kontak tembak tak terhindarkan, dan Sudaryanto, yang berada di garis depan, tertembak.
Serangan tersebut membuat Unit C terpaksa mundur beberapa meter dan bertahan di parit.
Meskipun terluka, Sudaryanto memanggil anak buahnya, termasuk Prabowo, untuk membantunya.
Prabowo, meskipun menyadari risiko yang besar, memutuskan untuk merayap ke depan guna menyelamatkan komandannya, mengingat bahwa tidak mengambil tindakan akan mengecewakan komandan mereka dan merusak semangat pasukan.
Sayangnya, upaya penyelamatan Prabowo tidak berhasil karena medan sulit dan beratnya badan Sudaryanto.