Ilustrasinya, bisa kita lihat dari fenomena yang muncul akhir akhir ini, dimana kontestasi politik pilpres yang semestinya ada di ruang kebangsaan, begitu gampangnya dipelintir menjadi kontestasi individual semata.
Gambaran syak wasangka begini, bukan semata beredar di obrolan "warung Kopi"... Di literatur ilmiah juga ada.
Adalah Richard Hofstadter, yang pernah mengemukakan urusan berkembangnya "syak wasangka politik" atau yang disemiripkan dengan "political paranoia" dalam dunia politik.
Dalam kitabnya yang berjudul "The Paranoid Style in American Politics" terbit tahun 1964, Hofstadter membahas urusan syak wasangka dan paranoid dalam politik Amerika.
Iya mengulas bagaimana syak wasangka yang tumbuh dan berkembang di dunia politik menjadi kerikil tajam.
Karenanya menurut penilaiannya, syak wasangka potensial memakmurkan permusuhan.
Syak wasangka juga potensial membesar besarkan pepesan kosong, atau merekayasa hayalan tentang adanya, konspirasi besar yang bertujuan menghancurkan nilai-nilai atau institusi yang dianggap penting.
Rentetan sosialnya, Syak wasangka di ruang politik, kemudian bisa berimplikasi pada berlangsungnya character assassination di satu sisi, sementara sisi lainnya, memfasilitasi lahirnya pahlawan dadakan.
Buruknya lagi, Syak wasangka punya daya retas yang dahsyat. Ia mudah menyebar dan diyakini.
Sampai sampai orang orang yang menciptakan prasangka pun yakin kalau prasangka imaginernya adalah kebenaran obyektif...
Pada skala skala kecil, syak wasangka adalah bumbu sosial yang biasa dan bisa dilakukan oleh orang orang biasa.
Tapi urusan bisa menjadi tidak biasa jika yang berprasangka itu bukan kumpulan orang orang biasa.
Apalagi jika prasangka itu berkait dengan wilayah atau ruang sensitif.
Jangan nggak percaya, jika banyak sekali musibah besar yang terjadi hanya lantaran syak wasangka dibiarkan merajalela.
Sekedar contoh saja, perang saudara antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda yang menggasak lebih dari 20 persen nyawa warga negaranya berawal dari syak wasangka.